Jakarta, GATRAnews -Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa 28 April 2015 lalu, mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Dalam putusannya, MK menyatakan pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional, karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil. Yang menarik, dalam putusannya itu, MK mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. MK menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.
Putusan MK itu menjadi jawaban final dari polemik putusan hakim Sarpin Rizaldi. Sebelumnya, pada 16 Februari lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan (calon Kapolri) terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.
Hukum acara pidana Indonesia mengenal suatu mekanisme pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti rugi, rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Mekanisme itu dinamakan Pra Peradilan yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permohonan Pra Peradilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan. Oleh karena itu dinamakan pra atau sebelum dan peradilan atau persidangan.
Pra Peradilan merupakan upaya dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda yaitu Herzienne Inlands Reglement (H.I.R). Oleh karena dalam hukum acara pidana itu sering terjadi upaya paksa oleh aparat penegak hukum dilakukan tanpa menghormati hak asasi manusia. Sehingga dibentuklah Pra Peradilan dalam rangka mengawasi tindakan penyidik.
Menurut Adnan Buyung Nasution, ide pembentukan lembaga pra peradilan berasal dari adanya hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon (common law system), yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum (ilegal).
Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak asasi manusia. Melihat mekanisme yang dapat dilakukan Pra Peradilan di atas sangatlah terbatas hal itu disebabkan:
Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan. Misalnya tindakan penggeledehan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP.
Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan tanpa adanya permohonan Pra Peradilan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dilakukan.
Ketiga, dalam pemeriksaan praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan. Seperti misalnya ada atau tidak surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP). Atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.
Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Dengan kata lain hakim pada praperadilan seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat materiil atau tidak. Apakah adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana sudah berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”.
Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh hakim. Karena umumnya hakim praperadilan mengganggap hal itu bukan tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.
Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang “diduga keras” melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup”, benar-benar ada alasan yang konkret dan nyata bahwa yang bersangkutan “akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima adanya kekhawatiran itu semata-mata merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik.
Walaupun demikian tujuan dari pembentukan Praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP untuk kepentingan perlindungan atas hak asasi manusia tersangka maupun terdakwa dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan perhatian dan tempat yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat tidak mustahil hak asasi manusia akan ditindas oleh kekuasaan.
Pra Peradilan juga berupaya mengurangi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Namun Pra Peradilan tidak mengatur pengujian tindakan penggeledahan dan penyitaan. Tindakan itu merupakan tindakan penegak hukum untuk mendapatkan alat bukti, apabila tindakan penyidik itu tidak dapat diuji keabsahannya, maka alat bukti yang dihasilkan juga tidak dapat diuji keabsahan perolehannya.
Sebagai perbandingan di negara yang sistem hukumnya menganut common law system seperti Amerika Serikat mengenal Pre Trial Hearing dan di Hong Kong mengenal Committal Proceeding.
Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing suatu proses hukum antara penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa dengan hakim yang dilakukan sebelum persidangan. Penuntut umum berupaya meyakinkan hakim dengan menampilkan seluruh alat bukti agar kasus itu dapat dilimpahkan ke pengadilan. Sebaliknya, penasehat hukum berupaya menguji seluruh alat bukti yang ada termasuk latar belakang saksi sehingga dapat meyakinkan hakim bahwa kasus itu belum cukup bukti.
Contoh mekanisme pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti pada Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing di Amerika Serikat, dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel Manhattan New York pada 2011. Kasus itu akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011 di Magistrates Court New York, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi.
Mekanisme yang mirip dengan Pre Trial Hearing di Hong Kong dinamakan Commital Proceeding. Proses itu merupakan serangkaian tes untuk memastikan penuntut umum dapat memberikan cukup bukti di depan hakim di Magistrate Court untuk memperlihatkan sebuah Prima Facie terhadap terdakwa, sehingga suatu kasus dapat disidangkan di district court.
Serangkaian tes di atas oleh Herbert L. Packer disebut obstacles course atau bentuk tahapan hukum acara pidana yang terbuka dan dapat diuji oleh pihak-pihak terkait. Sehingga dapat mengurangi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dari aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Berdasarkan pendapat Adnan Buyung Nasution dan mekanisme Pre Trial Hearing dan Commital Proceeding di atas, maka Pra Peradilan terinspirasi dari Common Law System dan bukan dari Civil Law System.
Walaupun terdapat perbedaan yang mendasar yaitu dalam proses Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing atau Commital Proceeding tidak akan dilakukan apabila tersangka atau terdakwa mengaku bersalah dihadapan hakim dan perkaranya langsung diputuskan pada tingkat Magistrates Court. Proses itu dilakukan apabila tersangka atau terdakwa mengaku tidak bersalah “not guilty” sehingga perkaranya akan disidangkan pada tingkat District Court. Sedangkan dalam Pra Peradilan proses itu dilakukan apabila ada permohonan dari tersangka atau terdakwa.
Dengan kata lain, Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing atau Commital Proceeding merupakan proses yang wajib dilakukan pengadilan sebelum perkaranya disidangkan. Sedangkan Pra Peradilan hanya merupakan proses optional (pilihan tersangka/terdakwa) dan bukan suatu proses yang wajib dilalui sebelum perkaranya disidangkan di pengadilan.
Sebenarnya Indonesia sedang berupaya memperbaiki kelemahan mekanisme Pra Peradilan di atas yakni dengan membuat mekanisme pengawasan terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Pasal 111 ayat (1) huruf a. RUU KUHAP).
Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan mirip dengan lembaga Recter Commisaris dalam sistem hukum Belanda atau le juge de la liberte et la detention di Prancis. Lembaga ”Rechter Commisaris” adalah jabatan hakim yang mempunyai kewenangan untuk memproses pengawasan upaya paksa (dwang middelen) berupa penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat oleh penyidik. Mekanisme itu dilakukan untuk memastikan tindakan aparat penegak hukum dilakukan sesuai per-UU-an. Kasus itu layak untuk disidangkan karena alat bukti yang ada telah diperoleh secara sah.
Secara umum, mekanisme Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing atau Commital Proceeding dan Rechter Commisaris memiliki tujuan yang sama yakni melakukan pelindungan hak asasi manusia dari tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik. Namun terdapat perbedaan prinsip yang mendasar yaitu:
Pertama, pemeriksaan atau pengawasan hakim terhadap tindakan penyidik/penuntut umum dalam Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing atau Commital Proceeding bersifat terbuka. Sedangkan Rechter Commisaris pemeriksaan/pengawasannya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh hakim terhadap penyidik, saksi bahkan juga terdakwa.
Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secara objektif, namun karena sifatnya yang tertutup maka tidak ada transparansi sehingga masyarakat tidak turut mengawasi proses pemeriksaan pengujian penilaian hakim terhadap benar tidaknya. Atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun jaksa penuntut umum.
Kedua, pemeriksaan atau pengawasan oleh hakim komisaris dalam sistem peradilan Eropa Kontinental seperti di Belanda, merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pengawasan hierarkis. Pengawasan itu dilakukan oleh Hakim (justitie) terhadap Jaksa (Openbaar Ministrie) dan Kepolisian sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi. Sistem pemeriksaan model Eropa Kontinental di atas pernah berlaku pada masa berlakunya Reglement op de Strafvordering (Rs.V).
Namun setelah berlakunya Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah Rechter Commissaris tidak digunakan lagi. Sedangkan model pengawasan/pemeriksaan Pra Peradilan sudah diberlakukan sejak UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dengan kata lain, Indonesia sudah terbiasa dengan sistem pemeriksaan yang terbuka sebagaimana Pra Peradilan. Sehingga akan mendapat banyak kesulitan menerapkan sistem pengawasan dengan menggunakan model Hakim Komisaris.
Oleh karena itu, model pengawasan penyidik yang transparan dan akuntabel sangat diperlukan agar lebih menjamin penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu sebagaimana sudah diamanatkan MK maka sebaiknya Pra Peradilan dipertahankan namun dengan kewenangannya yang diperluas.
Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM
(Atase Kejaksaan pada Konsulat Jenderal RI di Hong Kong)
Sumber: http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/146429-praperadilan,tinjauan-juridis-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi.html