Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Komosi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan Wakil Ketua KPK non aktif, Bambang Widjojanto. Pada sidang PUU No. 40/PUU-XIII/2015 yang digelar Kamis (7/5), Pemerintah menyampaikan keterangan terkait permohonan Pemohon yang menggugat ketentuan pemberhentian pimpinan KPK.
Bertempat di Ruang Sidang Pleno MK, Wicipto Setiadi selaku Dirjen Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyampaikan keterangan selaku wakil Pemerintah. Setiadi menyampaikan bahwa Pemerintah menganggap permohonan Pemohon telah kehilangan objektum litis. Sebab, permohonan pengujian terhadap Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK sudah pernah diputus oleh MK lewat putusan No. 133/PUU-VIII/2009 tertanggal 25 November 2009. Pemerintah juga mengesampingkan batu uji yang dipakai oleh Pemohon dengan beranggapan meski batu uji yang digunakan berbeda namun pasal a quo sudah kehilangan isu konstitusionalitasnya.
Dengan menukil bunyi Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pemerintah menganggap permohonan terhadap Pasal 32 ayat (1) huruf c UU MK tidak dapat dimohonkan lagi. Terlebih, Putusan MK No. 133/PUU-VIII/2009 sudah memaknai pasal a quo. Mahkamah saat itu menyatakan Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Oleh karena itu, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap ketentuan a quo, seharusnya sudah lepas dari isu konstitusionalitas walaupun batu ujinya dalam permohonan ini berbeda. Menurut Pemerintah, maksud dan tujuan utama Pemohon adalah pada intinya sama, yaitu mempermasalahkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) undang-undang a quo agar tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Setiadi yang juga meminta Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima permohonan ini.
Berikan Kepastian
Terkait dengan pokok permohonan, Pemerintah berpendapat ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK justru dimaksudkan untuk memudahkan proses penanganan perkara. Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan maka harus diberhentikan sementara dari jabatannnya.
Selain itu memudahkan proses penanganan perkara, Pemerintah beranggapan ketentuan dimaksud tidak menyebabkan hilangnya kepastian dan perlindungan hukum bagi pimpinan KPK yang diberhentikan sementara. Justru, lanjut Setiadi, pemberhentian sementara memberikan jaminan kepastian hukum untuk fokus pada proses hukum yang harus dijalani pimpinan KPK dimaksud sesuai tahapan pemeriksaan perkara pidana yang diatur dalam KUHAP.
Sementara itu, Pemerintah juga menampik dalil Pemohon yang menganggap KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal akibat adanya penetapan tersangka terhadap diri Pemohon selaku salah satu pimpinan KPK. Pemerintah melihat ketentuan dalam pasal a quo justru dimaksudkan agar citra dan wibawa KPK tetap terjaga dan terpelihara dengan baik.
“Karena kejahatan tindak pidana korupsi yang bersifat extra ordinary crime kemudian lembaga yang melakukan pemberantasan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi, dalam hal ini KPK, juga diberikan kewenangan-kewenangan yang luar biasa pula dan superbody, maka adalah beralasan dan wajar jika terhadap Pimpinan KPK juga diberlakukan diterapkan model punishment yang bersifat luar biasa khususnya terhadap ketentuan yang mengatur berhenti atau diberhentikan sebagai Pimpinan KPK,” tutur Setiadi di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Perlakuan Berbeda
Usai mendengarkan keterangan Pemerintah, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyampaikan pertanyaan pendalaman kepada Setiadi. Patrialis menanyakan alasan tindakan polisional terhadap pimpinan KPK paling lemah dibandingkan dengan pejabat negara lain. Sebab, hanya dengan status tersangka saja, pimpinan KPK sudah dapat diberhentikan sementara. Hal tersebut berbeda dengan pejabat negara lain yang justru harus menunggu izin presiden baru dapat diberhentikan sementara. “Kalau DPR itu justru malah (lewat keputusan, red) Mahkamah Dewan Kehormatan, ya. Nah, ini kelihatannya ini belum begitu terjawab karena dianggap diskriminasi,” tanya Patrialis.
Menjawab pertanyaan tersebut, Setiadi menyampaikan bahwa bila melihat sejarah pembentukan UU KPK, KPK merupakan lembaga yang diberi kewenangan khusus untuk memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, wajar bila KPK diharapkan dapat selalu dihormati wibawanya oleh masyarakat. “Pembentuk undang-undang (UU KPK, red) pada waktu itu menyepakati bahwa ini memang dibedakan dengan perlakuan atas pejabat negara yang lain karena ini tadi kewenangannya sangat luar biasa, sehingga ada pelanggaran sedikit pun terhadap tindak pidana maka tidak disamakan perlakuannya dengan pejabat negara yang lain. Demikian juga mengenai kualifikasi tindak pidanannya. Jadi, tidak hanya tindak pidana terkait dengan jabatannya saja, tapi juga semua tindak pidana yang dilakukan,” jawab Setiadi sembari berjanji akan melengkapi keterangan Pemerintah secara tertulis. (Yusti Nurul Agustin)