Pakar Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Rifqinizamy Karsayuda mengatakan Pasal 31A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung terkait dengan batas waktu pengujian materiil oleh Mahkamah Agung yang memiliki 2 tafsir.
Hal tersebut disampaikan Rifqi sebagai ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang lanjutan perkara nomor 30/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat. Menurutnya, tafsir pertama dalam ketentuan pasal a quo adalah batas waktu pemeriksaan hingga putusnya perkara uji materiil di Mahkamah Agung. Adapun tafsir yang kedua adalah waktu tersebut adalah waktu antara diterimanya perkara, hingga kewajiban Mahkamah Agung memulai pemeriksaan atas perkara dimaksud.
“Ketidakjelasan tafsir ini akan membuka ruang bagi ketidakpastian hukum, yakni pemeriksaan perkara uji materiil di Mahkamah Agung selama ini sebagaimana dirasakan Pemohon,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (7/5).
Pasal 31A ayat (4) UU Mahkamah Agung menyatakan,
”Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Mahkamah Agung paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.”
Menurutnya, memberikan tafsir yang jelas untuk ketentuan tersebut penting untuk dilakukan oleh MK untuk memastikan hadirnya lembaga kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Agung. Hal tersebut dalam rangka penegakan hukum dan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terkait dalil pemohon soal tidak terbukanya mekanisme beracara dalam perkara uji materiil di Mahkamah Agung, menurut Rifqi, tidak terlalu tepat dijadikan objek pengujian. Pasalnya, dalam pasal a quo tidak diatur sama sekali soal sifat beracara dalam perkara pengujian materiil di Mahkamah Agung. “Kendati demikian, urgensi soal keterbukaan beracara itu adalah hal yang mesti kita perhatikan secara serius,” tegasnya.
Ia menjelaskan, secara normatif tidak ada ketentuan yang mengatur secara jelas tentang sifat tertutup atau terbukanya mekanisme beracara di Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Ketentuan serupa juga tidak diatur dengan tegas dalam Peraturan Mahkamah Agung, baik Perma Nomor 1 Tahun 2004 maupun Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil. Padahal, keterbukaan beracara dalam Perkara Uji Materiil di Mahkamah Agung adalah sebuah tuntutan yang tak terelakkan. “Ketertutupan proses beracara dalam uji materiil di Mahkamah Agung, bukan tidak mungkin akan menghasilkan proses pemeriksaan yang sangat tidak maksimal,” jelas Rifqi.
Di sisi lain, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia M. Nur Sholikin membandingkan proses pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan di Mahkamah Agung. Ia menilai, kendati MK lebih baru, tetapi perkara yang diterima MK lebih banyak dari MA. Padahal MA memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian mulai dari peraturan pemerintah, kemudian peraturan presiden, peraturan lembaga negara lainnya yang masuk dalam peraturan perundang-undangan, peraturan menteri, lembaga, badan atau komisi, dan peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota.
Namun Sholikin menilai kondisi minimnya perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung ini tidak bisa diartikan bahwa kualitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sudah baik karena memang sangat sedikit yang diajukan pengujiannya ke Mahkamah Agung. “Beberapa kalangan menilai bahwa prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung memiliki persoalan terkait dengan keterbukaan penanganan 8 perkara, pelaksanaan persidangan, dan akses permohonan,” jelasnya.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian. Beberapa materi yang diatur antara lain subjek mengenai subjek Pemohon, waktu dimulainya pemeriksaa, amar putusan, dan pemuatan putusan dalam Berita Negara. Adapun proses pemeriksaan perkara tidak diatur dalam ketentuan tersebut. “Selama ini, proses pemeriksaan permohonan tidak melibatkan para pihak secara langsung dalam persidangan. Pemohon maupun Termohon hanya berhubungan secara tertulis atau surat dengan Mahkamah Agung pada saat pengajuan permohonan oleh Pemohon dan penyampaian jawaban oleh Termohon,” urainya.
Majelis hakim tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai permohonan maupun jawaban dari Termohon atau pembentuk peraturan perundangundangan terkait. Pertimbangannya dalam memutus perkara tersebut hanya berdasarkan pada dokumen yang disampaikan oleh para pihak. “Kami melihat adanya ketimpangan dalam proses pengajuan permohonan dimana Pemohon hanya berinteraksi sekali dengan Mahkamah Agung ketika pendaftaran dan setelah itu tidak ada kepastian waktu dalam proses penyelesaiannya,” tuturnya.
Sebelumnya, Muhammad Hafidz sebagai Pemohon menilai kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh MA mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kewenangan penyelesaian perselisihan oleh badan peradilan. Pengujian peraturan perundang-undangan, lanjut Hafidz, mempunyai karakteristik putusan yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, putusan pengujian peraturan perundang-undangan akan mengikat bukan hanya kepada para pemohon, namun juga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya sidang digelar dengan sifat terbuka untuk umum.
“Nuansa public interest dalam pengujian ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan pembeda yang sangat jelas dengan perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain atau pemerintah,” papar Hafidz.
Lebih lanjut, Hafidz menyatakan bahwa tidak adanya pengaturan tentang proses pemeriksaan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang akan mengakibatkan tidak adanya batas-batas hukum bagi MA dalam menjalankan kewenangannya. “Akan menjadi liar karena tidak ada ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya, yaitu salah satunya untuk memeriksa dan memutus sebuah permohonan pengujian ketentuan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya,” imbuhnya (Lulu Hanifah)