JAKARTA (Pos Kota) – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sudah sangat dekat, tapi UU Pilkada yang jadi landasan ternyata ngawur, tumpang-tindih, dan tidak ada sanksi politik uang. Oleh karena itu UU Pilkada yang juga sedang digugat, ke Mahkamah Kontitusi (MK) lebih baik dibatalkan saja.
“Sebaiknya secara formil UU No 8/ 2015 ini dibatalkan dahulu oleh MK sesuai dengan permintaan gugatan uji materi kami di MK. UU ini banyak kelemahan dan tidak sesuai prinsip-prinsip demokrasi,” kata mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah, melalui pesan singkatnya, Rabu (6/5)
Direktur Rumah Demokrasi itu mendukung Komisi II DPR untuk merevisi UU No 8 tahun 2015, tetapi kalau secara formil MK telah memberi putusan. MK sendiri sudah melakukan sidang perdana soal gugatan tersebut pada Kamis (30/4).
Menurut Ramdansyah, apabila MK membatalkan gugatan ini, maka akan muncul kekosongan hukum. Ada 2 solusi yang bisa ditempuhi. Apabila putusan MK hanya membatalkan saja sebaiknya pemerintahan sekarang membuat Perppu untuk mencegah kekosongan hukum. Dalam pembuatan Perppu itu, maka Pemerintah harus mengajak DPR untuk mempersiapkan RUU Pilkada yang baru sama sekali.
Jadi, lanjutnya, harus disinkronkan secara materiil dan juga secara lintas kelembagaan dalam pembuatan Perppu yang benar-benar mengakomodir prinsif-prinsif demokrasi substansial dalam pasal per pasal maupun singkron dengan perundangan lainnya.
Solusi kedua seandainya MK lebih progresif menjadi positif legislator, maka MK dapat membuat/memperbaiki pasal-pasal yang memperkuat prinsif demokrasi seperti dimunculkannya ancaman pidana terhadap politik uang dan pasal-pasal yang kami uji materi secara formil. ” Di UU Pilkada ada larangsn politik uang, tapi tidak ada sanksi. Itu kan tidak ada hukuman,” katanya.
Selain itu juga, MK diharapkan sebagai positif legislator dapat menghapus-pasal yang merusak sendi-sendi demokrasi seperti kriminalisasi terhadap petugas KPPS ketika salah hitung padahal ini adalah lebih kepada pelanggaran administrasi.
(winoto/sir)