Awal pekan ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan sejumlah dokter yang mempersoalkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Meski bertujuan melindungi pasien, keputusan itu menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kriminalisasi profesi dokter.
Mahkamah Konstitusi menilai, pelaporan secara pidana dan atau gugatan perdata tetap perlu demi melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan. Itu juga untuk melindungi hak pasien jika tindakan dokter atau dokter gigi dinyatakan melanggar disiplin profesi kedokteran oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Putusan itu ditetapkan atas pengujian konstitusionalitas Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Uji materi diajukan sejumlah dokter muda yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu, antara lain Agung Sapta Hadi, Yadi Permana, dan Irwan Khresnamurti.
Pasal itu terdiri dari tiga ayat. Pada Ayat (1) disebutkan "Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI".
Ayat (2) menyatakan "Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan serta alasan pengaduan".
Adapun Ayat (3) yang dipersoalkan itu berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana pada pihak berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan".
Dasar permohonan uji materi, ayat itu dinilai membuka penafsiran luas atas tindakan kedokteran. Itu membuat pelanggaran kedisiplinan dokter jadi kasus pidana. Hal tersebut menimbulkan ketakutan di kalangan dokter untuk mengambil tindakan kepada pasien berisiko tinggi atau dalam kondisi darurat karena bisa disalahkan akibat kelalaian yang menyebabkan pasien meninggal (Kompas, 21 April 2015).
Terkait hal itu, pihak penggugat menuntut agar profesi dokter diperlakukan sama dengan profesi lain yang juga memiliki kode etik profesi. Dengan demikian, jika dokter dinyatakan tak bersalah melanggar etik profesi, hal itu semestinya juga dimaknai tak ada pelanggaran hukum.
Berdasarkan catatan Kompas, salah satu kasus yang menyebabkan dokter dipidana ialah pada kasus meninggalnya Julia Fransiska Makatey saat melahirkan di Rumah Sakit Umum Prof dr Kandouw, Manado, Sulawesi Utara, pada 2010. Kasus itu diduga akibat malapraktik yang dilakukan tiga dokter spesialis kandungan, yaitu Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian.
Ketiga dokter divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado. Belakangan, tiga dokter itu divonis 10 bulan penjara oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi 18 September 2012. Akhirnya, pada 7 Februari 2014, Mahkamah Agung, melalui putusan peninjauan kembali, membebaskan dokter Ayu dan kawan-kawan.
Dua sisi
Keputusan MK menolak gugatan atas ketentuan pidana bagi dokter atau dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, putusan itu akan meningkatkan kehati-hatian dokter dalam mengambil tindakan medis sesuai standar etika dan prosedur operasi standar sehingga risiko kesalahan medis akan berkurang.
Hal itu juga akan melindungi hak-hak pasien. Selama ini pasien memiliki posisi tawar lemah dalam mendapat pelayanan kesehatan. Adanya sanksi pidana bagi dokter atau dokter gigi diharapkan akan meningkatkan komunikasi dan keterbukaan informasi terkait setiap tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarganya.
Namun, putusan MK bisa memiliki dampak negatif yang perlu diantisipasi. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menilai putusan itu berimplikasi pada ketakutan kalangan dokter dalam mengambil tindakan medis karena dapat dibawa ke ranah pidana.
Kondisi itu membawa konsekuensi pada lambatnya proses layanan kesehatan karena dokter cenderung menerapkan prosedur pemeriksaan lengkap untuk meminimalkan risiko dalam praktik kedokteran. Biaya pengobatan bisa membengkak lantaran dokter cenderung memakai teknologi diagnosis yang canggih.
Bagaimanapun, kekuatan hukum putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, demi memberi kepastian hukum bagi profesi dokter sekaligus melindungi pasien, langkah terbaik ialah menyamakan persepsi antarlembaga penegak hukum dalam menafsirkan ketentuan pidana pada UU Praktik Kedokteran.
Proses pidana ataupun perdata pada perkara kedokteran mesti menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai rujukan penanganan kasus dan penafsiran aturan. Ini untuk menghindari salah persepsi mengingat keterbatasan kemampuan penegak hukum dalam menilai tindakan medis.
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sepatutnya tidak digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap profesi dokter atau dokter gigi. Keberadaan aturan itu mesti dilandasi semangat untuk menjamin keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan.
Oleh Evy Rachmawati
http://print.kompas.com/baca/2015/04/25/Putusan-Mahkamah-Konstitusi-dan-Perlindungan-Pasie