PUBLIK disuguhkan putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang (UU) 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), 28 April lalu. Putusan itu menyatakan, objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP yaitu: “a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Tetapi juga termasuk “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.
Melalui putusan tersebut, MK telah memperluas objek praperadilan. Dan itu sesungguhnya disadari oleh MK berdasarkan pertimbangan hukumnya di halaman 104, yaitu: “Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan penetapan tersangka tersebut”.
Adanya putusan MK ini, tentu saja mengingatkan kita dengan hakim Sarfin Rizaldi yang mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan dalam hal penetapan tersangka. Pascaputusan itu, sang hakim dihadapkan kepada hal-hal yang sungguh tidak mengenakkan. Sang hakim didemo bahkan oleh almamaternya sendiri Fakultas Hukum Universitas Andalas, dilaporkan ke Komisi Yudisial. Hal ini tidak dapat dipungkiri, memang sacara normatif, tidak ada satupun alasan yang dapat membenarkan bahwa penetapan tersangka merupakan salah satu dari objek praperadilan seperti tertera di dalam Pasal 77 UU 8/1981.
Dengan adanya putusan MK ini, sesungguhnya ijtihad hakim Sarfin telah mendapat “sertifikat” dari MK. Di samping itu, yang telah “mencemooh” dan “mencibir” sang hakim, tentu saja putusan MK ini bagaikan petir di siang bolong. Terlepas itu semua, ada beberapa legal annotation atau eksaminasi yang ingin saya berikan, baik dari sisi formalitas maupun substansi putusan MK yang tak akan terlupakan oleh hakim Sarfin tersebut.
Sisi Formalitas
Pertama, MK kembali memerankan fungsinya sebagai “positive legislature”, sang pembuat UU (membuat ketentuan/norma baru). Padahal secara normatif, menurut Hans Kelsen sang pionir MK, bahwa MK adalah ”negative legislature”, membatalkan UU. Seharusnya, lembaga yang memerankan positive legislature adalah DPR dan Presiden, bukan MK. Untuk itu, apakah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan atau tidak, seharusnya dimuat di dalam UU, bukan di dalam putusan MK. Hal ini dapat dilihat di dalam putusan MK halaman110, bahwa: “Pasal 77 a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Ketentuan/norma baru yang ditambah oleh MK di dalam Pasal 77 UU 8/1981 adalah “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Padahal UU 24/2003 tentang MK menentukan bahwa hanya 3 jenis putusan MK berkaitan dengan pengujian UU, yaitu dikabulkan, ditolak, dan tidak dapat diterima.
Harus diingat, bukan berarti MK sebagai negative legislature berlaku mutlak di dalam semua keadaan dan kondisi. Bisa saja MK memerankan fungsinya sebagai positive legislature. Namun hal itu dalam kondisi darurat. Artinya suatu kondisi di mana tidak memungkinkan DPR dan Presiden memuat norma baru (UU). Kalau tidak, hal itu tidak dapat dibenarkan. Misalkan positive legislature yang diperankan MK di dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). MK tidak hanya mengabulkan permohohonan pemohon tetapi juga membuat ketentuan baru. Yaitu, WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan KTP atas paspor yang masih berlaku bagi yang berada di luar negeri”.
Hal ini dapat dibenarkan karena kondisi darurat ketika itu. Pertama, hari pilpres sudah di ujung mata. Kedua, Presiden SBY ketika itu tidak mau mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU. Ketiga, kalau persoalan DPT juga tidak diselesaikan, pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto akan mengundurkan diri.
Memang benar bahwa hakim seyogyanya mengutamakan keadilan daripada kepastian hukum. Bukan berarti pula, kepastian hukum seenaknya diabaikan begitu saja. Dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, tidak tepat kalau kemudian MK membuat norma baru di dalam putusannya. Sebab tidak ada keadaan dan kondisi yang mendesak yang mengharuskan MK untuk memerankan fungsinya sebagai positive legislature (DPR dan Presiden) yang kemudian berujung kepada “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan” juga merupakan objek praperadilan. Hal ini sama saja MK telah menambah bunyi Pasal 77 UU 8/1981.
Kedua, putusan MK tersebut, kendatipun secara legalitas sah, namun lemah secara legitimasi. Sebab tidak ada kesepakatan bulat sembilan hakim konstitusi (MK) bahwa penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Putusan tersebut hanya disetujui lima orang hakim konstitusi. Sedangkan tiga hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion (pendapat yang berbeda).
Sisi Substansi
Dari sisi substansi, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut punya sisi plus-minus. Dari sisi plus, pertama, putusan MK tersebut menjembatani para pencari keadilan. Misalkan dari beberapa kasus, di mana label seseorang sebagai tersangka terkatung-katung. Artinya tak kunjung juga diadili, padahal terkadang label tersangka itu sudah menempel di diri yang bersangkutan semenjak satu tahun yang lalu. Dengan adanya putusan MK ini, pranata peradilan adalah sebagai tempat untuk mengadu. Mau dibawa ke mana label tersangka itu. Sebab lebel tersangka yang menempel tersebut tidak hanya punya konsekuensi secara hukum an sich, tetapi juga secara sosial dan psikologis.
Secara hukum, misalkan yang bersangkutan dinonaktifkan dari jabatannya, tidak boleh ke luar negeri, dan sebagainya. Dari sisi sosial, yang bersangkutan termasuk keluarganya mendapatkan sanksi dari masyarakat, misalkan dikucilkan, dicemooh, diolok-olok, dan sebaginya. Begitu juga dari sisi psikologis, tentu saja goncang secara kejiwaan terlebih lagi yang bersangkutan tak tahu apa-apa perihal yang dituduhkan kepadanya itu.
Kedua, agar penegak hukum lebih berhati-hati menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab dalam praktiknya memungkinkan penegak hukum menyalahgunakan kewenangan. Misalkan karena alasan pribadi, politis, titipan, dan sebagainya.
Begitu juga dengan misalkan, kalau tidak yakin, maka jangan tempelkan label tersangka itu. Kasihan yang bersangkutan. Dengan demikian, praperadilan hadir sebagai pranata kontrol bagi penyidik.
Selanjutnya, dari sisi minus. Pertama, berpotensi merongrong wibawa penegak hukum. Kedua, berpotensi maraknya gugatan.
Perlu Revisi UU
Dalam tulisan ini, ada dua proposal yang diajukan. Pertama, perlu ada pembatasan penetapan tersangka mana yang bisa menjadi objek praperadilan dan mana yang tidak. Pembatasan tersebut dilihat dari sisi waktu. Misalkan tiga bulan. Jadi andaikata selama tiga bulan berkas perkara yang bersangkutan belum juga disidangkan semenjak label tersangka menempel di diri yang bersangkutan, maka barulah penetapan tersangka tersebut boleh diajukan ke pranata praperadilan. Tanpa pembatasan itu, tentunya akan merepotkan penyidik dan hakim praperadilan. Untuk itu, DPR dan Presiden perlu merevisi UU 8/1981.
Kedua, perlu revisi UU MK. Di mana ke depan tidak cukup dengan hanya persetujuan minimal lima hakim konstitusi untuk membatalkan UU. Minimal enam atau tujuh hakim konstitusi misalkan. Sebab bagaimana pula sebuah UU batal, di saat lembaga yang membatalkannya saja tidak punya kesepakatan bulat, yaitu lima suara berbanding empat suara.
Sebagai perbandingan, misalkan UU MK Korea Selatan menentukan bahwa keabsahan putusan dapat berlaku jika putusan diambil minimal dengan enam suara mayoritas atau minimal enam suara berbanding tiga suara.***
Wira Atma Hajri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
http://www.riaupos.co/3847-opini-putusan-kontroversial-mk.html#.VUl5ZvBwXIU