Bukan hanya memperkuat struktur dan substansi hukum, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga harus sejalan dengan kultur dan filosofi. Kultur dan filosfi ini terkait dengan pemahaman menyeluruh mengenai pemilihan dan hubungan antara pemimpin dan rakyat. Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional bertajuk Problematika Pemilihan Kepala Daerah Langsung Serentak di Indonesia Tahun 2015 di Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram), pada Sabtu (2/5).
“Kita menyelenggarakan Pemilukada, Pileg dan Pilpres itu tidak untuk hanya nampak dari strukturnya dan substansinya, tetapi dari kulturnya dan filosofinya tidak dipegang. Dimana hal ini berarti pemahaman mengenai pemilihan, pemahaman mengenai bagaimana berhubungan antara pemimpin dan rakyat tidak dipahami secara holistik atau komperehensif,” papar Arief dihadapan para peserta seminar dari civitas akademika Unram dan para undangan.
Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa seorang pemimpin harus membangun komunikasi yang baik bukan hanya pada waktu dalam pemilihan umum saja. Pemimpin harus lebih intensif untuk melakukan hubungan komunikasi kepada rakyat. Ketika itu dilakukan, lanjut Arief, maka saat pemilihan, pemimpin tersebut pasti akan dipilih rakyat. “Nah sekarang banyak orang yang berpikir instan yang tidak sesuai dengan filosofi, di mana suka membantu dan memaksakan kehendaknya hanya dalam beberapa waktu dekat. Namun ketika tidak dipilih mereka meminta kembali semua bantuannya tersebut. Tipe-tipe orang yang seperti ini, saya berharap kepada masyarakat agar jangan dipilih,” tambah Arief, dalam acara yang diselenggarakan untuk memperingati Dies Natalis ke-48 FH Unram tersebut.
Menurut Arief, kini sudah banyak masyarakat yang terjangkit penyakit disorientasi kolektif bangsa. Masyarakat dalam hal ini tidak hanya rakyat, tetapi para elit dari tataran daerah maupun nasional. Artinya, lanjut Arief, tujuan menjadi seorang pejabat tidak jelas. “Berbeda dengan founding fathers, dimana mereka masuk kedalam penjara dulu baru menjabat sebagai presiden dan menteri dan jajaranya. Tetapi sekarang banyak yang haus untuk menjabat suatu kedudukan, tetapi pada akhirnya berakhir di penjara,” imbuh Arief.
Selain itu, Arief juga menyatakan meskipun hukum yang ada jelek, namun ketika penegak hukumnya baik, maka akan terjadi penegakan hukum yang berkeadilan. “Berikanlah kepada saya seorang polisi yang baik, berikanlah seorang jaksa yang baik, dan seorang hakim yang baik. Meskipun hukumnya jelek, maka akan terjadi penegakkan hukum yang berkeadilan yang sebaik-baiknya. Jadi sebetulnya semangat the founding fathers haruslah kita contoh. Karena dengan begitu maka penyelenggaraan Pemilukada, Pileg, Pilpres, tidak ada masalah atau heboh seperti sekarang ini, dimana hampir semua Pemilukada masuk kedalam Mahkamah Konstitusi hanya dikarenakan ingin menang,” tegas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini.
Penyakit sosial lain yang kemudian muncul yakni tidak saling percaya (distrust). Menurut Arief, penyakit ini akan lebih memperburuk keadaan di Indonesia yang saat ini sangat mudah untuk diprovokasi agar membela sesuatu yang belum tentu benar.
“Indonesia sekarang ini adalah masyarakat yang dihinggapi dalam low turst society, tidak saling percaya. Nah, kalau bangsa sudah kaya begini ya berat, mau apa saja dikatakan tidak benar. Curiga,” jelas Arief.
Untuk itu, Arief memberikan kesimpulan bahwa hukum yang baik adalah hukum mempunyai struktur, substansi dan kultur yang bagus. Di mana di Indonesia, lanjut Arief, saat ini substansi dan struktur sudah bagus, tetapi apabila kulturnya tidak bagus maka akan terjadi yang tidak bagus. “Hal tersebut telah terjadi pada jaman orde baru, di mana dulu, pembangunan hukum tadinya dijadikan bidang pembangunan bidang sosial budaya, kemudian pembangunan hukum dikeluarkan menjadi bidang hukum sendiri. Padahal yang paling penting adalah pesan moral pembangunan kultur hukum, hingga pada akhir jabatan Soeharto turun, baru muncul kultur hukum dalam GBHN pada bulan Maret, namun pada bulan Mei sudah tidak ada lagi. Hingga saat ini, tidak pernah ada pembangunan kultur hukum,” imbuhnya. (Hamdi)