Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal hak atau kekuasaan prerogatif, yang ada hanya kekuasaan konstitusional yang tunduk pada paham negara konstitusi. Demikian disampaikan I Gede Pantja Astawa Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung yang dihadirkan oleh Presiden dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan), dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Selasa (5/5) siang, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sistem ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesungguhnya tidak mengenal hak atau kekuasaan prerogatif, yang ada adalah kekuasaan konstitusional yang harus tunduk pada pengeritan dan paham negara berkonstitusi (constitutional state), antara lain pembatasan kekuasaan limited governance,” papar Astawa, dalam sidang perkara nomor 22/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Denny Indrayana, Feri Amsari, Hifdzil Alim dan Ade Irawan, yang mempersoalkan konstitusionalitas pengaturan keterlibatan DPR dalam pengangkatan, pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI.
Menurut Astawa, hak prerogatif akan hilang bila diatur dalam undang-undang atau Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Meskipun demikian, hilangnya hak prerogatif bukan berarti hilangnya materi hak prerogatif. Apabila hak prerogatif sudah diatur dalam undang-undang atau UUD 1945, maka tidak lagi disebut hak prerogatif, melainkan sebagai kekuasaan berdasarkan undang-undang atau kekuasaan berdasarkan UUD 1945.
“Apabila telah diatur dalam undang-undang atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka tidak lagi disebut kekuasaan prerogatif, melainkan sebagai kekuasaan menurut atau berdasarkan undang-undang (statutory power) atau kekuasaan menurut atau berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (constitutional power),” papar Astawa, dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Astawa menguraikan bahwa berdasarkan asal usulnya, hak prerogatif merupakan residu kekuasaan diskresi raja atau ratu. Absolutnya kekuasaan raja, lanjut Astawa, menimbulkan reaksi dari rakyat. Reaksi ini yang kemudian diwakili oleh parlemen berhasil mengurangi absolutisme kekuasaan raja. Akhirnya, raja hanya mempunyai sedikit sisa kekuasaan absolut di tangannya. Sedangkan diskresi mempunyai pengertian segala tindakan raja yang secara hukum dibenarkan walaupun tidak didasarkan pada suatu ketentuan undang-undang.
“Sebagai residu dari kekuasaan diskresi raja atau ratu yang secara hukum tetap dibiarkan dan dijalankan sendiri oleh raja atau ratu dan para menteri. Yang disebut kekuasaan diskresi atau discretionary power adalah segala tindakan raja atau ratu atau pejabat negara lainnya yang secara hukum dibenarkan walaupun tidak ditentukan atau didasarkan pada suatu ketentuan undang-undang,” urai Astawa dengan mengutip pendapat Albert Venn Dicey.
Kemudian, Astawa menjelaskan perbedaan antara hak prerogatif dengan kekuasaan berdasarkan UUD 1945. Salah satunya dapat diketahui dari ruang lingkupnya, di mana hak prerogatif tidak dapat diketahui secara pasti, sedangkan setelah diatur dalam UUD 1945 maka kekuasaan itu sudah dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, ketika hak prerogatif sudah diatur dalam UUD 1945, maka akan menjadi bagian dari hukum tertulis, sehingga cara penciptaan, penghapusan dan cara menjalankannya akan ditentukan menurut aturan dan tata cara yang diatur. Untuk mengendalikan kekuasaan konstitusional Presiden, lanjut Astawa, maka diperlukan instrumen pengendali agar kekuasaan tersebut tetap benar secara hukum, wajar, dan pantas, yakni pranata check and balances.
Mempertegas pernyataan ahli, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanyakan apakah sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945 tidak mengenal hak prerogatif. Menjawab pertanyaan itu, Astawa menyatakan bahwa ketika prerogatif sudah diatur dalam undang-undang atau UUD 1945, maka tidak lagi disebut hak prerogatif, tetapi kekuasaan konstitusional. “Ketika kita berbicara prerogatif ini, begitu dia (hak prerogatif) sudah diatur di dalam undang-undang dan/atau Undang-Undang Dasar tidak lagi disebut dengan hak prerogatif. Kalau dia diatur di dalam Undang-Undang Dasar atau menjelma ke dalam Undang-Undang Dasar. Itulah yang dikatakan dengan kekuasaan konstitusional,” jawab Astawa.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida mengklarifikasi tentang diskresi, di mana diskresi bukanlah milik dari pembentuk undang-undang, tetapi milik Presiden atau raja. Dengan demikian, rumusan yang terdapat dalam undang-undang atau UUD 1945, bukanlah sebuah diskresi. Menjawab pertanyaan itu, Astawa menjelaskan bahwa orang yang memiliki kekuasaan diskresi sebenarnya mempunyai ruang pertimbangan bebas. Pertimbangan ini terkait dengan pilihan melakukan atau tidak melakukan. Kemudian UUD 1945 memberikan itu kepada Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, yakni ketika Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
“Ketika Presiden melahirkan Perpu, itulah wujud diskresi seorang Presiden. Karena itu, faktor-faktor kenapa Perpu itu mesti keluar sepenuhnya faktornya subjektif, hanya presiden yang tahu. Mempertimbangkan itu semua, yang penting ketika itu seorang Presiden itu harus mampu menjawab satu persoalan kebangsaannya yang tengah terjadi, dengan tujuan biar persoalan ini segera teratasi dan kondisi seperti stabil kembali,” jelas Astawa.
Pemohon diwakili kuasa hukumnya Defrizal Djamaris juga menanyakan apakah permohonan untuk menghilangkan keterlibatan DPR dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dapat diartikan menghilangkan mekanisme cheks and balances. Menjawab pertanyaan itu, Astawa menyatakan bahwa dengan adanya penghilangan keterlibatan DPR dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI maka sama saja dengan membiarkan Presiden bertindak sewenang-wenang. “Kalau tadi saya katakan check and balances system ini terhadap pengimbangan ada kontrol dari institusi negara yang lain, kalau ini dihilangkan sama saja dengan membiarkan seorang Presiden itu akan bertindak sewenang-wenang dia. Kan gitu, maksudnya, logikanya kan begitu,” jawab Astawa. (Triya IR)