Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kesekian kalinya menerima kunjungan mahasiswa yang ingin mengenal lebih dekat MK. Kesempatan kali ini hadir 60 mahasiswa Muamalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Sentul, Bogor pada Selasa (5/5) siang. Kedatangan mereka diterima oleh peneliti MK, Alia Harumdani.
Alia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka.
“Selain Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, ada Mahkamah Konstitusi,” kata Alia yang didampingi moderator Abdurahman Wisnu, dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Sentul, Bogor.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
“Artinya, sudah tidak ada upaya hukum lagi, tidak ada banding seperti di Mahkamah Agung. Putusannya bersifat final dan mengikat secara umum,” ucap Alia.
Dikatakan Alia, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan berikutnya, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Selain itu MK berwenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD,” imbuh Alia kepada para mahasiswa.
Pada pertemuan itu Alia juga menerangkan sejumlah alasan perlunya MK dibentuk. Jawabnya, karena MK merupakan the guardian of constitution yang berarti MK sebagai pengawal konstitusi. Selain itu MK berperan sebagai the final interpreter of constitution yaitu tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, namun hanya MK.
Selanjutnya MK berperan sebagai the protector of citizen’s constitutional rights diartikan bahwa MK sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Di samping itu MK berperan sebagai the protector of human rights diartikan bahwa MK sebagai pelindung hak-hak asasi manusia.
Alia menambahkan, sebelum adanya amandemen UUD 1945, supremasi tidak didasarkan pada konstitusi, melainkan berdasarkan supremasi parlemen. Kedaulatan tertinggi masa itu ada di tangan MPR, bukan konstitusi. MPR merupakan lembaga tertingi negara. Tetapi setelah terjadi amandemen UUD 1945, kedudukan antara lembaga negara bersifat sejajar, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara.
Lebih lanjut Ali menyinggung keberadaan sembilan hakim konstitusi yang berasal dari unsur Presiden, DPR dan Mahkamah Agung yang masing-masing terdiri atas tiga orang. Sedangkan syarat menjadi hakim konstitusi, bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (Nano Tresna Arfana)