Sebanyak 120 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (4/5) pagi.
“Kedatangan kami dalam rangka studi lapangan, ingin mengetahui peran dan fungsi MK secara langsung dari narasumber MK. Jadi para mahasiswa tidak hanya mendengar melalui mata kuliah,” kata Asep pimpinan rombongan sekaligus dosen Sunan Gunung Djati Bandung.
Para mahasiswa FISIP UIN Sunan Gunung Djati diterima oleh peneliti MK, Fajar Laksono Soeroso yang berlanjut dengan memberikan materi seputar konstitusi. “Saya ingin mulai bercerita kenapa ada Mahkamah Konstitusi, kenapa ada yang namanya judicial review?” ucap Fajar.
Fajar menuturkan bahwa pada 1800 Presiden Amerika Serikat, John Adams dikalahkan oleh rivalnya Thomas Jefferson. Sebagai pihak yang kalah, John Adams, layaknya pejabatnya yang mau lengser, dia kumpulkan orang-orang dekatnya dan diangkatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Amerika Serikat. Hingga suatu malam diadakan acara serah terima antara Presiden John Adams dengan Thomas Jefferson, diangkatlah beberapa Hakim Agung Amerika Serikat. “Di kemudian hari kita mengenal peristiwa itu sebagai the midnight justice,” imbuh Fajar.
Namun sampai keesokan harinya, surat keputusan pengangkatan para Hakim Agung Amerika Serikat belum juga diserahkan kepada para pejabat yang bersangkutan. Sementara John Adams sudah lengser dan masuklah Thomas Jefferson sebagai presiden baru. Namun Jefferson tidak mau menyerahkan surat keputusan pengangkatan tersebut. Akhirnya salah seorang pejabat bernama Marbury meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat agar memerintahkan Presiden menyerahkan surat pengangkatan tersebut.
“Tapi yang terjadi, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak gugatan Marbury. Yang paling mengejutkan saat itu justru adalah Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung Amerika Serikat yang berisi perintah Presiden untuk melakukan satu tindakan tertentu. Karena ketentuan ini dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat,” papar Fajar.
Pembatalan ketentuan dalam UU Mahkamah Agung Amerika Serikat menimbulkan pro kontra berbagai pihak. Peristiwa itu pun kemudian jadi landasan adanya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hingga akhirnya dibentuk Mahkamah Konstitusi pertama di dunia di Austria pada 1920.
“Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi Austria muncul ketika Austria melakukan amandemen konstitusi. Hans Kelsen saat itu sebagai arsitek perubahan UUD Austria agar membentuk lembaga tersendiri yang berbeda dengan Mahkamah Agung yang diberi fungsi untuk menguji undang-undang terhadap UUD,” ucap Fajar.
“Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara, yang berarti bahwa undang-undang di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga tersendiri yang bisa menguji undang-undang,” kata Fajar.
Sementara itu di Indonesia, gagasan awal pengujian undang-undang muncul sejak masa perjuangan. Mohammad Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang (UU). Namun usul itu tidak disetujui karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Barulah pada era reformasi, terjadi amandemen UUD 1945, soal pengujian undang-undang kembali diusulkan. Hingga akhirnya dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut Fajar mengatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak bisa bergantung pada landasan ilmu hukum semata. Dalam persidangan, para hakim konstitusi justru membutuhkan banyak sekali masukan dari beragam disiplin ilmu, dari orang-orang politik, ekonomi, dan sebagainya.
“Kalau kalian pernah menyaksikan sidang MK, ada agenda sidang mendengarkan semua pihak yang berperkara secara seimbang. MK menggali seluas-luasnya informasi dari para pihak untuk berbicara di depan persidangan dari semua aspek. Perkara konstitusi luas, dari yang namanya politik, ekonomi, dan lainnya,” jelas Fajar.
“Konstitusi itu berbicara tentang segenap aspek kehidupan bernegara,” tambah Fajar kepada para mahasiswa. (Nano Tresna Arfana)