Tiga orang pegiat Pemilu ajukan Pengujian Undang-Undang (PUU) Pemilukada. Tiga orang tersebut, yaitu Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah. Ketiganya menggugat ketentuan tentang pengusungan pasangan calon oleh partai politik, sanksi pidana penyalahgunaan jabatan dalam penyelenggaraan pemilukada, aturan kampanye, serta batasan konflik kepentingan dengan petahana yang diatur dalam UU Pemilukada Tahun 2015.
Pada sidang yang digelar Kamis (30/4), Ramdansyah dan Heriyanto menyampaikan pokok-pokok permohonan perkara yang diregirstrasi dengan nomor 51/PUU-XIII/2015. Keduanya menyampaikan permohonan pengujian formil dan materiil terhadap Pasal 7 huruf f, Pasal 22B huruf d, Pasal 40 ayat (3), Pasal 47 ayat (2) dan (5), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (4), Pasal 58 ayat (7), Pasal 63 ayat (2), Pasal 70 ayat (2), Pasal 75 ayat (5), Pasal 138, dan Pasal 158 UU Pemilukada.
Pasal-pasal tersebut dianggap cacat formil oleh Para Pemohon karena materi muatan UU Pemilukada dianggap tidak pernah dibahas dan disetujui dalam rapat paripurna DPR. Selain itu, UU Pemilukada yang bernomor 8 Tahun 2015 itu dianggap tidak memasukkan perbaikan-perbaikan, termasuk hasil putusan MK terhadap UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilukada. Dengan kata lain, Pemohon mengatakan UU Pemilukada yang baru hanya sekadar mengganti nomor undang-undang saja.
“Kami menemukan adanya pasal dan ayat yang tidak pernah disetujui dalam paripurna, namun muncul ketika diundangkan. Jadi, pada saat paripurna tanggal 17 Februari 2015 ketika DPR RI menyetujui rancangan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini, itu di situ hanya 115 poin, itu yang disetujui pada tanggal 17 Februari 2015, namun pada saat diundangkan (menjadi UU No. 8 Tahun 2015, red) ini menjadi 117 poin. Artinya, ada dua pasal dan satu penghilangan ayat di situ, itu antara rentang waktu paripurna DPR RI dengan pengundangan,” jelas Heriyanto di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dua pasal yang dimaksud Pemohon, yaitu Pasal 87 ayat (4) dan penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU Pemilukada. Selain itu, Pemohon juga menyebutkan bahwa ada penghilangan Pasal 42 ayat (7) UU Pemilukada yang tanpa disetujui lewat paripurna DPR. Dengan yakin, Pemohon melengkapi dalilnya dengan bukti tertulis tiga versi UU Pemilukada yang berbeda.
Selain itu, Pemohon juga menggugat UU Pemilukada karena tidak mencantumkan sanksi pelaku politik uang, sanksi jual beli suara oleh Parpol, dan sanksi bagi penyalahgunaan jabatan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dan sanksi bagi tidak transparannya sumber dana kampanye. Dengan tidak adanya aturan-aturan yang menyokong terjadinya Pemilukada yang demokratis, Para Pemohon khawatir akan kalah bersaing saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan para pemilik modal besar.
“Di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pemilukada sebelumnya, red) khususnya di Pasal 73 disebutkan bahwa ada larangan politik uang bagi pelaku yang memberikan uang dan juga sanksi administrasi berupa diskualifikasi pasangan calon. Namun sayangnya, sanksi diskualifikasi pasangan calon tersebut harus didahului putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pengadilan tidak dapat memutus, kenapa? Karena tidak ada sanksi materiil yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk memutus putusan berkekuatan hukum tetap tersebut. Jadi sama saja, ada larangan tapi
tidak bisa ditegakkan, penegakan hukum pemilu menjadi mandul. Begitu pun juga dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, ternyata dia hanya memperbaiki redaksi frasa wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota tanpa juga memasukkan sanksi pidananya. Jadi, di situ Pasal 47 dinyatakan bahwa untuk membatalkan calon gubernur, bupati, walikota atau pasangan calon itu harus didahului oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” urai Heriyanto.
Uji Materiil
Selain mengajukan uji formil, Pemohon juga mengajukan pengujian materiil. Pada Pasal 7 huruf f UU Pemilukada, Pemohon meminta pembatasan terkait konflik kepentingan. Pemohon meminta syarat pencalonan yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana diartikan sebagai tidak memiliki hubungan darah dengan petahana. Selain itu, Pemohon meminta konflik kepentingan juga diartikan bila memiliki ikatan perkawinan dan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana.
Dengan kata lain, ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kaka, adik, ipar, anak, menantu dianggap memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Meski demikian, Pemohon memaklumi bila hubungan yang dikategorikan sebagai konflik kepentingan sudah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku anggota panel hakim memberikan saran terkait syarat pengajuan uji formi. Menurut Pasal 51 ayat (3) UU MK, uji formil harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Dapatkah nanti misalnya diujian formil itu kan tahapan pembentukan undang-undang itu sejak perencanaan, persiapan, kemudian perumusan, pembahasan. Nah, kemudian pengundangan ya, terakhir. Kemudian penyebarluasan. Nah, itu di tahap-tahap hal itu bisa Saudara lebih elaborasi lagi,” saran Wahiduddin Adams.
Sementara itu, Palguna menyarankan agar Pemohon mengganti legal standing yang digunakan untuk mengajukan permohonan ini. Sebab, Palguna merasa legal standing sebagai tax payer atau pembayar pajak dirasa tidak cukup kuat untuk dijadikan legal standing Pemohon karena tidak ada kerugian konstitusional langsung yang dialami Pemohon. “Kalau tidak ada kaitan kerugian konstitusionalnya, kalau walaupun dia pembayar pajak, tidak bisa juga. Karena syarat pertamanya tidak terpenuhi,” saran Palguna yang pada sidang kali ini juga didampingi Hakim Konstitusi Manahan Malontige Pardamean Sitompul yang baru dilantik pada Selasa (28/4) lalu. (Yusti Nurul Agustin)