Kepala negara ialah simbol sebuah negara, sehingga menjadi tidak benar jika Parlemen dapat melengserkan Presiden dengan sewenang-wenang. Demikian disampaikan Peneliti MK, Anna Triningsih saat menyambut kunjungan Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta pada hari Rabu (29/4), di Ruang Sidang Panel, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kepala negara ialah ikon sebuah negara. Namun, bagaimana Presiden Sukarno, Soeharto, Gus Dur lengser, ini tidak benar jika Parlemen (dapat) melengserkan dengan sewenang-wenang,” tutur Anna Triningsih, didampingi Dosen Fakultas Hukum Universitas PGRI, Ari Retno Purnaningsih.
Anna kemudian menjelaskan ide dasar mengenai salah satu kewenangan MK, yaitu menangani perkara impeachment. Dalam diskusi tersebut, mahasiswa tampak antusias mengikuti jalannya pemaparan Anna. Berbagai pertanyaan dilontarkan untuk memenuhi rasa keingintahuan. Misalnya saja Fenny, seorang mahasiswa semester 6, melontarkan pertanyaan mengenai putusan MK dan struktur Hakim Konstitusi. “Bagaimana jika putusan dilakukan dengan kurang dari 9 hakim?” ucap Fenny.
Merespon pertanyaan tersebut, Anna menjelaskan bahwa proses persidangan diawali dengan sidang panel pendahuluan dan kemudian berlanjut pada sidang perbaikan permohonan. Anna menambahkan bahwa putusan dilakukan pada sidang pleno. Sedangkan putusan melalui kuorum minimal 7 orang Hakim Konstitusi. “Kuorumnya minimal 7 orang Hakim Konstitusi, jika hakimnya kurang dari 7 pada jadwal sidang pleno, maka hakim yang hadir akan menanyakan kepada pihak terkait mengenai kesediaan mereka dalam melanjutkan sidang tersebut yang berstatus sidang panel diperluas,” jelas Anna.
Mengenai putusan MK, Anna menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat seluruh warga negara. MK sangat terbuka kepada pihak-pihak yang ingin mengetahui putusan MK. Bahkan MK sering mengadakan seminar maupun simposium yang membahas putusan MK.
Anna kemudian memaparkan bahwa Mahkamah Konstitusi terbentuk dari adanya proses reformasi yang terjadi pada 1998. Menurutnya, reformasi diiringi dengan keinginan untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan MK, lanjut Anna, terbentuk melalui proses Amandemen ketiga, dimana sebuah lembaga peradilan baru diperlukan untuk menguji undang-undang. Lebih lanjut, Anna memaparkan kewenangan dan kewajiban MK secara keseluruhan. (Prasetyo Adi N.)