Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Pemohon pada Kamis (30/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang terdaftar dengan nomor 21/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Kahar Winardi, Wandi Gunawan Abdillah, dkk, selaku pemilik rusun. Para Pemohon menguji Pasal 74 ayat (1), Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 107 UU a quo. Kali ini Pemohon kembali menghadirkan empat orang saksi yang juga merupakan pemilik rusun, yakni Tri Susilowati, Umi Hanik, Fifi Tanang dan Machril.
Tri Susilowati merupakan pemilik apartemen di Pakubuwono Terrace sejak 2014. Di tahap awal penghunian, Ia mengatakan disuruh pengelola untuk membayar listrik, air, dll dengan tarif yang jauh dari harga pasaran. Susilowati juga menyatakan bahwa Ia sudah berulang kali meminta kepada pengembang untuk memfasilitasi pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), namun tidak mendapatkan respon. “Kita udah berulang kali minta, kan serah terima sudah satu tahun lebih, kita minta difasilitasi membentuk P3RS, juga dia (pengembang) ga ada, kita mau komunikasi juga ga bisa, jadi ga tau kita itu harus bagaimana, jadi itu Yang Mulia yang saya alami sampai hari ini” papar Susilowati.
Selanjutnya, Umi Hanik yang merupakan Pemilik Rusun di Kalibata City menyatakan bahwa Ia dan komunitasnya telah melakukan usaha untuk membentuk PPPSRS sejak 2011. Namun pihak pengembang tidak memberikan respon dan bahkan sejak 2015, pihak pengembang menutup akses warga untuk berdialog bersama. Menurut Umi, warga juga telah meminta pihak pengembang untuk memfasilitasi pembentukan PPPSRS, namun pihak pengembang tidak mau memfasilitasinya.
“Fasilitasi tidak ada, dan itu tidak pernah, dan itu tidak dijalankan karena sebelumnya warga yang menuntut proses pembentukan P3SRS dan kita meminta pihak pengembang atau pelaku pembangunan untuk menyediakan ruangan dan lain sebagainya, tapi itu tidak mendapatkan dukungan yang maksimal dari pihak pengelola,” urai Umi.
Selain itu, meskipun Umi dan komunitasnya telah mengadakan dialog dengan pihak Kementerian Perumahan Rakyat dan Dinas Perumahan Umum DKI Jakarta, namun masih belum memecahkan masalah.
“Nah, setelah dialog dengan Disperum tanggal 18 Maret 2015, kemudian pihak Disperum memanggil pihak pengembang, pihak pelaku pembangunan pada 31 Maret 2015. Nah, sayangnya setelah pemanggilan pihak pengelola atau pelaku pembangunan ini tidak ada lagi kabar atau update terkait pemanggilan tersebut, bahkan dari pihak pengelola/pengembang itu dengan sangat percaya diri melakukan meminta warga untuk melakukan registrasi ulang seluruh dokumen-dokumen kepemilikannya untuk pembentukan P3SRS,” kata Umi.
Berdasarkan keterangan saksi, Ketua MK Arief Hidayat menanyakan apakah semua unit apartemen di tempat para saksi sudah habis terjual. Menjawab pertanyaan itu, Susilowati menyatakan bahwa di tempatnya semua apartemen sudah terjual habis sejak dua tahun yang lalu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Umi, di mana seluruh unit apartemen di Kalibata City seduah terjual habis, namun pihak pengembang tidak pernah memfasilitasi pembentukan PPPSRS.
Dalam persidangan itu, pihak Pemerintah diwakili oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan, Nasrudin juga turut memberikan pertanyaan kepada para saksi. Pertanyaan ini terkait dengan pengetahuan para saksi, di mana kewajiban untuk membentuk PPPSRS bukanlah di pihak pengembang, namun di pihak pemilik rusun. “Apakah Saksi tahu bahwa yang wajib membentuk P3SRS itu adalah pemilik, karena di Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Rumah Susun yang wajib membentuk itu adalah P3SRS bukannya developer. Ya, jadi para penghuni atau pemilik rumah susun itulah yang membentuk ya, bukannya developer. Jadi kita tidak perlu minta kepada developer untuk membentuk P3SRS,” tanya Nasrudin.
Menjawab pertanyaan, Umi menyatakan bahwa pengembang cenderung tidak menjalankan fungsi fasilitasi. Menurutnya, pemilik rusun telah mampu melakukan sosialisasi, pendataan dan penggalian dana. Tapi, lanjut Umi, Ia dan komunitasnya harus berlomba dengan pihak pengembang untuk melakukan hal tersebut. Untuk itu, Umi berkesimpulan bahwa pasal terkait fasilitasi oleh pengembang, khususnya terkait dengan pendataan tidak mempunyai daya guna.
“Kami harus berlomba-lomba dengan pihak pengembang untuk mengumpulkan data, dukungan dari warga. Siapa yang benar-benar mendapatkan dukungan dari mayoritas warga. Artinya apa, pasal terkait fasilitasi oleh pelaku pembangunan, khususnya untuk pendataan ini, itu tidak ada gunanya. Seperti itu,” jawab Umi.
Sementara itu, Susilowati menyatakan bahwa pengembang selalu menghindari pemilik rusun. Menurutnya, ketika Ia dan warga hendak berkomunikasi dengan pengembang, pihak pengembang tidak mau dan seakan ketakutan ketika penghuni rusun membentuk PPPSRS. “Sama sekali enggak ada tanggapan apa pun namanya lah, dari developer-developer selalu menghindari dari pemilik, gitu. Kita ajak komunikasi enggak mau, kita ajak bicara berhadapan juga enggak mau dan developer itu ketakutan kalau kita membentuk perhimpunan, gitu, Pak, tandas Susilowati. (Triya IR).