Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - Perkara No. 50/PUU-XIII/2015 pada Kamis (30/4) siang. Pemohon adalah Tato Suwarto yang melakukan pengujian Pasal 69 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004.
Pasal 69 ayat (2) huruf a Undang-Undang a quo menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan.”
Pemohon adalah pendiri, pemegang saham, sekaligus direktur Utama PT. Batamas Jala Nusantara, perseroan yang didirikan pada 1986 dan berkedudukan di Batam. Saat krisis ekonomi tahun 1998, partner Pemohon selaku Direktur Utama PT. Batamec menyatakan tidak mampu menjalankan usaha. Sehingga solusinya adalah pergantian jabatan Pemohon yang semula menjabat Komisaris Utama menjadi Direktur Utama PT. Batamec. Sementara partner asingnya yang semula menjabat Direktur Utama menjadi Komisaris Utama PT. Batamec.
Pemohon menuturkan, ia dinyatakan pailit dan merasa dicurangi oleh partner asing OTTO Industrial Co Pte Ltd DKK dengan menguasai aset PT. Batamas Jala Nusantara dan operasionalnya oleh partner asing, melalui kepailitan curang terencana dengan memasukkan keterangan alamat yang tidak sebenarnya ke dalam permohonan pernyataan pailit. Padahal mereka mengetahui tempat kedudukan PT. Batamas Jala Nusantara yang sebenarnya.
Atas kepailitan yang dialami oleh Pemohon, maka Pemohon telah dipidana penjara selama 10 bulan. Hal ini mengakibatkan kurator dapat dengan leluasa melawan hukum dan melawan hak, melakukan lelang terhadap barang-barang bergerak termasuk lelang saham pesero dan lelang barang-barang tidak bergerak dengan pembelinya dari lingkungan sendiri.
Pemohon menilai Pasal 69 ayat 2 huruf a Undang-Undang No. 37 Tahun 2014 tidak memberikan batasan yang tegas terhadap tugas seorang kurator. Pasal a quo memberikan hak yang dominan dan tidak terbatas terhadap seorang kurator dengan menempatkan kedudukan debitur selaku pemilik harta pailit sebagai pihak luar dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Menurut Pemohon, rumusan frasa “tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur …” dalam Pasal 69 ayat 2 huruf a Undang-Undang No. 37 Tahun 2014 mengandung makna pembatasan, pencabutan, penghilangan hak debitur untuk mengetahui dan hak untuk diberitahu tentang keadaan harta pailit, kelangsungan usaha debitur dan pelaksanaan tugas, mengandung makna meghilangkan eksistensi Pemohon, serta mengandung makna kewenangan kurator untuk merahasiakan pelaksanaan tugasnya dalam pengurusan dan atau pemberesan kepailitan.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan bahwa secara sistematika permohonan Pemohon sudah bagus. “Tetapi memang dalam permohonan yang asli, Bapak terlalu banyak menjelaskan hal-hal yang bersifat faktual. Sehingga tidak terlihat jelas apa hubungannya Pasal Pasal 69 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Dasar yang jadi batu ujinya,” kata Maria kepada Pemohon. “Perlu ditegaskan kembali kenapa pasal ini kemudian menjadikan Bapak dirugikan secara konstitusional,” tambah Maria.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo menanggapi, “Suatu saat Bapak bisa menjadi pemohon pailit kan? Bagaimana kalau kedudukan Bapak sudah menang perkara dalam permohonan pailit, kemudian Pasal 69 ayat (2) huruf a Undang-Undang Kepailitan dihapuskan. Sedikit-sedikit kurator harus minta izin pemohon pailit? Pasti pemohonnya keberatan kan? Setiap orang yang kalah perkara kalau hartanya disita pasti keberatan,” imbuh Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengungkapkan bahwa permohonan Pemohon terlalu panjang sehingga perlu dipersingkat lagi. Hal lain, Patrialis menilai permohonan Pemohon lebih banyak merupakan persoalan penyalahgunaan kewenangan oleh kurator. “Kalau itu penyalahgunaan kewenangan, berarti kan bukan persoalan norma, Kita tahu bahwa MK menangani perkara persoalan norma,” tandas Patrialis. (Nano Tresna Arfana)