Pemohon Pengujian Undang-Undang (PUU) Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) kembali menghadirkan ahli pada sidang yang digelar Rabu (29/4) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menghadirkan Dosen Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Ari Afriansyah. Dalam paparannya, Afriansyah menyampaikan KTKLN tidak dapat diterima dalam tataran internasional karena tidak sesuai konvensi internasional tentang Seafarer Identity Document (SID).
Mengawali paparannya, Afriansyah menyampaikan sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kewenangan dalam mengatur urusan dalam negerinya termasuk membuat hukum dan menerapkannya di wilayah Indonesia dan terhadap warga negaranya. Namun demikian, sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia harus turut menghormati norma-norma antar negara yang kerap disebut sebagai hukum internasional.
Terkait perlindungan TKI di luar negeri, Afriansyah mengungkapkan bahwa Indonesia telah mengikatkan diri dengan konvensi International Labour Organization (ILO), khususnya terhadap peraturan mengenai Seafarer Identity Document (SID). Dengan menyetujui terikat dengan konvensi tersebut, maka pemerintah Indonesia patut mengikuti atau terikat pada semua isi dalam konvensi tersebut.
Dengan mengikatkan diri dengan Konvensi SID, maka pelaut Indonesia di luar negeri wajib memiliki buku pelaut (seamen book) sesuai ILO Convention on SID tahun 1958. Sejak menjadi negara peserta konvensi ini, Indonesia wajib mengeluarkan dokumen yang disebut dengan SID. Dengan memiliki SID maka pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri memiliki identitas yang seragam dengan pelaut asing lainnya. Sehingga, dokumen yang seragam dan diterima oleh semua negara yang menyepakati hukum internasional tersebut akan memudahkan para pelaut Indonesia bila berhubungan dengan pihak imigrasi mana pun.
“Dengan adanya SID ini bersama paspor Indonesia yang diterima secara internasional, para pelaut Indonesia bisa bekerja di kapal-kapal asing,” ujar Afriansyah di hadapan pleno hakim yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat.
Keseragaman dokumen bagi para pelaut Indonesia dirasa penting mengingat saat ini banyak ditemukan praktik-praktik ilegal kapal yang tidak memiliki kebangsaan yang jelas atau sering disebut praktik berbendera ganda (reflagging). Bila pelaut Indonesia bekerja di kapal tersebut lalu tertangkap pihak otoritas, maka pelaut Indonesia tanpa dokumen yang diakui secara internasional akan menjadi korban dan bulan-bulanan.
“Peran pemerintah Indonesia menjadi sangat penting sebagai bagian perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri secara umum, secara khusus, pelaut dengan jenis pekerjaan yang memerlukan persyaratan dan risiko-risiko yang unik. Perlindungan ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah dengan menerbitkan SID sesuai dengan standar internasional, sehingga memudahkan para pelaut dalam bekerja. Namun seperti yang diketahui, pada praktiknya seringkali paspor atau SID pelaut atau ABK ditahan oleh kapten kapal sebagai bukti jaminan selama pekerjaan,” papar Afriansyah lagi.
Lewat Pasal 62 UU PPTKILN, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mewajibkan TKI untuk memiliki Karti Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) sebagai bentuk antisipasi ketiadaan identitas pelaut Indonesia di luar negeri. Namun, KTKLN tidak diterima secara hukum internasional sebagai pengganti SID dan paspor. Meski sebenarnya, Arfriansyah melihat KTKLN berisikan data pribadi para pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan lengkap. Akan tetapi, tidak adanya pengakuan dari negara lain justru membuat keberadaan KTKLN menjadi tidak berarti.
“Dalam tataran hukum internasional, masyarakat internasional hanya akan memastikan pelaksanaan aturan yang terdapat dalam perjanjian antarnegara tersebut. Dalam konteks ini, kewajiban Indonesia dalam Konvensi ILO Nomor 185 adalah mengeluarkan sebuah dokumen yang memiliki standar-standar informasi yang telah dipersyaratkan sehingga dapat diterima di seluruh dunia. KTKLN akan kehilangan relevansinya apabila dua tujuan utamanya dibuat KTKLN yaitu pengganti identitas laut selain SID dan paspor, serta melindungi pelaut dengan pembekalan wajib dan tentunya asuransi, tidak dapat diimplementasikan secara praktis dan akan menyulitkan pelaut dalam mengurus segala hal yang berkaitan dengan usahanya kerja dari melaut,” tukas Afriansyah.
Sidang Terakhir
Usai mendengarkan keterangan Afriansyah, Arief Hidayat menanyakan para pihak mengenai agenda selanjutnya. Diketahui kemudian, para pihak sudah merasa cukup menghadirkan ahli maupun saksi dalam persidangan yang sudah digelar sebanyak enam kali.
Oleh karena itu, Arief mengingatkan agar para pihak menyerahkan kesimpulan paling lambat Jumat (8/5) pukul 15.00 WIB. “Saya ulangi penyerahan kesimpulan bisa diserahkan langsung tidak ada persidangan lagi diserahkan di Kepaniteraan pada hari Jumat, 8 Mei Tahun 2015 pada Pukul 15.00 WIB,” tutup Arief. (Yusti Nurul Agustin)