Dua orang kader Partai Golkar, Tua Alpaolo Harahap dan Anirwan, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Perkara No. 48/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Rabu (29/4) siang.
Norma yang diuji adalah Pasal 23 ayat (3) berbunyi, “Susunan kepengurusan baru partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.” Sementara Pasal 24 berbunyi, “Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan partai politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan.”
Pemohon mendalilkan, Pasal 23 ayat (3) UU Partai Politik yang mengatur kewenangan pengesahan kepengurusan partai politik ada pada pemerintah yang berkuasa telah menimbulkan diskriminasi.
“Pasal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya diskriminasi pengakuan hak partai dan hak untuk memperoleh jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam memperoleh keadilan serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” kata Eben Eser Naibaho, kuasa hukum Pemohon.
Dikatakan Eben, kedudukan partai politik menentukan gerak dan arah kebijakan dan keberlangsungan roda pemerintahan. Oleh karena itu menjaga dan menciptakan iklim politik yang santun, sehat tidaklah tepat apabila kewenangan pengesahan kepengurusan sebuah partai politik dimiliki Menteri Hukum dan HAM.
Eben mengkaitkan dalil permohonan dengan situasi yang terjadi dalam Partai Golkar. “Para Pemohon merasakan dampak yang timbul atas penyalahgunaan wewenang Menteri Hukum dan HAM dalam mengeluarkan Surat Keputusan atas pengesahan kepengurusan Partai Golkar Kubu Agung Laksono dan tidak melaksanakan principle of legal security atau berbuat sewenang-wenang,” urai Eben.
Menurut Pemohon, peristiwa yang menimpa Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar adalah fakta kesalahan tata kelola kebijakan Menteri Hukum dan HAM semakin membuat rancu dan perpecahan terbuka luas yang dampaknya sampai kepada saling mengusir sesama fraksi antara dua kubu yang mengklaim paling sah, bahkan saling lapor ke Mabes Polri.
“Pasal 24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa bila terjadi perselisihan kepengurusan partai politik, Menteri tidak mengeluarkan Surat Keputusan yang maknanya adalah kewenangan mutlak sah atau tidaknya suatu kepengurusan ditentukan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM,” papar Eben.
Menurut Pemohon, seharusnya Kemenkumham hanya sebagai tempat mendaftarkan saja, bukan menentukan sah atau tidaknya susunan kepengurusan partai politik. Oleh karenanya Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 Undang-Undang Partai Politik berpotensi melanggar penghormatan dan pengakuan hak dan kebebasan partai, sebagaiman jaminan kebebasan tersebut ditetapkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menanggapi dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai permohonan Pemohon sesungguhnya merupakan problem implementasi. “Seharusnya Saudara menguraikan kerugian konstitusional yang dialami, serta menyampaikan alasan-alasan bahwa norma yang Saudara uji adalah inkonstitusional,” ujar Palguna. “Namun kami berharap bahwa Saudara memiliki argumentasi tersendiri setelah ada perbaikan permohonan,” tambah Palguna.
Sementara itu Wakil Ketua MK Anwar Usman menanggapi bahwa dalam permohonan Pemohon terdapat kontradiksi antara alasan-alasan Pemohon dengan petitum. Selebihnya, Anwar sependapat dengan Palguna bahwa permohonan Pemohon merupakan problem implementasi. “Di mana letak inkonstitusionalnya pasal yang Saudara uji?” tanya Anwar.
Sedangkan Ketua MK Arief Hidayat menyoroti bukti Kartu Tanda Anggota (KTA) parpol dari Pemohon, yang menurut Arief, bukan merupakan KTA Partai Golkar tapi KTA Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Selain itu Arief menasehati Pemohon agar melengkapi semua tanda tangan kuasa hukumnya. (Nano Tresna Arfana)