Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi undang-undang yang mengatur proses seleksi pengangkatan hakim dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (29/4), di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 43/PUU-XIII/2015 ini merupakan pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yakni, Imam Soebechi, Abdul Manan, dkk. Pada kesempatan itu, kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Fauzan menyatakan kepada Majelis Panel sudah melakukan perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum, pokok permohonan dan petitum.
Memperjelas kedudukan hukum, Fauzan menyampaikan bahwa para Pemohon merupakan perorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak mewakili IKAHI sebagai perkumpulan profesi para hakim seluruh Indonesia. “Pemohon I sampai dengan Pemohon VI adalah bertindak mewakili Ikatan Hakim Indonesia yang merupakan perkumpulan profesi para hakim seluruh Indonesia,” kata Fauzan, di hadapan majelis sidang panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Lebih lanjut, Fauzan menjelaskan bahwa hakim adalah bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari sistem kekuasaan kehakiman. Sedangkan proses seleksi pengangkatan hakim merupakan faktor penting yang ikut menentukan berjalan atau tidaknya sistem tersebut. Menurut Fauzan, tanpa proses seleksi pengangkatan hakim yang merdeka dan mandiri, maka peningkatan sistem peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan akan sulit dilaksanakan. Tanpa adanya kemerdekaan, independensi hakim, serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman, independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Untuk itu, lanjut Fauzan, segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan, pasti akan mengurangi kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
“Berdasarkan uraian di atas, telah nyata terdapat kepentingan langsung Para Pemohon sebagai Pengurus Pusat IKAHI yang menduduki jabatan selaku Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Panitera pada Mahkamah Agung terhadap proses seleksi pengangkatan hakim pada badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam hubungan dengan pekerjaannya, saya ulang, dalam hubungan dengan pekerjaannya, bekerjanya sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tambah Fauzan.
Kemudian terkait pokok permohonan, Teguh Satya Bhakti yang juga kuasa para Pemohon menjelaskan kata “merdeka” dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki arti bebas, berdiri sendiri, tidak terlena, lepas dari tuntutan, tidak terikat atau tidak tergantung pada pihak tertentu. Untuk itu, Teguh merumuskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Sehingga. lanjut Teguh, adanya keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman.
“Adanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya larangan terhadap segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” papar Teguh.
Selain itu, Teguh juga mengungkap bahwa kewenangan KY dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah bersifat limitatif. Hal ini mempunyai pengertian kewenangan KY hanya terbatas pada mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, bukan terhadap proses seleksi pengangkatan hakim pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya kewenangan KY untuk ikut melakukan seleksi hakim dimaksud, maka terdapat perluasan terhadap kewenangan KY dalam mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Hal ini yang kemudian menurut Teguh menjadi masalah konstitusionalitas.
“Konklusi substansial yang dapat ditegaskan bahwa rumusan menyangkut keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal-pasal yang diuji menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan menimbulkan persoalan konstitusionalitas,” urai Teguh.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 13A ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Pasal 13A ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 juga bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah mengesahkan alat bukti, Wakil Ketua MK Anwar Usman memberitahukan kepada Pemohon bahwa untuk kelanjutan permohonan, terlebih dahulu Majelis Panel akan menyampaikan hasil sidang pendahuluan ke Rapat Permusyawaratan Hakim. (Triya IR)