Sebanyak 18 mahasiswa beserta dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/4) pagi. Wiryanto selaku Kepala Bidang Penelitian, Pengkajian Perkara dan Perpustakaan MK menerima kunjungan tersebut di Ruang Sidang Panel, Gedung Mahkamah Konstitusi. Kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa dengan institusi negara, terutama institusi peradilan.
Pada kesempatan tersebut Wiryanto menyampaikan materi mengenai sejarah terbentuknya MK dan kewenangannya. Menurut Wiryanto, sejarah MK bermula dari era Reformasi yang berujung pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945. “Mahkamah Konstitusi lahir dari proses reformasi yang bergulir di 1998 dan diikuti Amandemen UUD 1945. Keinginan membentuk MK muncul di dalam Amandemen, terutama Amandemen ketiga,” ujar Wiryanto didampingi Wakil Dekan 1 Universitas Bhayangkara, Ika Saimima.
Lebih lanjut, Wiryanto menyatakan bahwa kewenangan MK pada dasarnya menangani kegaduhan politik melalui jalur hukum, seperti perselisihan hasil Pilkada maupun transisi Presiden. Jumlah perkara yang ditangani MK ini pun cukup banyak. “Seluruh sengketa Pilkada diputus MK melalui jalur hukum bisa mencapai 800 perkara dalam waktu 30 hari kerja. MK juga memeriksa dugaan pelanggaran Presiden secara hukum, berkaca pada perjalanan ketatanegaraan yang selalu terjadi kegaduhan saat transisi presiden,” ujarnya
Wiryanto juga menjelaskan bahwa MK berbeda dengan lembaga peradilan lainnya. Secara konseptual, MK tidak membawahi lembaga peradilan lain. Proses peradilan di MK memilik tenggat waktu yang pasti dan putusan yang dihasilkan MK mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Kemudian penjelasan materi tersebut memancing pertanyaan dari Rina Nasution, seorang mahasiswi S1 Universitas Bhayangkara. Rina menanyakan struktur MK yang hanya terdiri dari 9 hakim konstitusi dan kapasitas kerja MK yang padat, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa Pilkada. Menanggapi pertanyaan tersebut Wiryanto bertutur bahwa jumlah hakim konstitusi merupakan pilihan ketatanegaraan setiap negara. “Jumlah 9 hakim konstitusi di MK RI merupakan ketetapan MPR dan DPR, sesuai dengan pendekatan negara hukum yang membagi kekuasaan menjadi 3 bagian, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sehingga komposisinya 3 hakim dari DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung,” jelas Wiryanto.
Mahkamah Konstitusi terbentuk dengan dasar hukum Pasal 24C UUD 1945. Selain memuat dasar hukum, Pasal 24C UUD 1945 memuat kewenangan Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan satu kewajiban konstitusional yang dimiliki MK yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. (Prasetyo Adi N.)