Permohonan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembagunan untuk Kepentingan Umum - Perkara No. 42/PUU-XII/2014 -akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian putusan MK yang dibacakan Ketua Pleno Arief Hidayat dengan didampingi para hakim konstitusi lainnya pada Selasa (28/4) siang.
“Amar putusan menolak seluruh permohonan Pemohon,” tegas Arief dalam sidang pengucapan putusan MK.
Dalam amar putusan, MK berpendapat bahwa pengujian terhadap Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bukan merupakan pengujian konstitusionalitas pasal dalam norma undang-undang, melainkan merupakan permasalahan implementasi norma yakni bagaimana seharusnya mekanisme ganti rugi dan proses keberatan diajukan bila ada pihak yang dirugikan dalam masalah tanah.
Menurut Mahkamah, terkait persoalan keberatan ganti kerugian dan perusahaan penilai, UU 2/2012 telah memberikan ruang dan mekanisme yang jelas bagi para pihak yang merasa dirugikan dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Seperti diketahui, perkara pengujian Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Kepentingan Umum ini dimohonkan oleh para pemilik tanah di Ruas II Margonda, Depok, Jawa Barat. Para Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, “Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.”
Pada persidangan pemeriksaan pendahuluan, salah satu Pemohon, Soetopo Ronodihardjo berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pertanahan merupakan sebuah kemunduran dibandingkan ganti rugi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 karena membuka peluang multitafsir. Multitafsir tersebut menurut Pemohon berakibat munculnya intimidasi dan ancaman baik terselubung maupun terang-terangan terhadap mereka. Menurut Soetopo, hal tersebut berakibat pada hilangnya hak milik pribadi yang seharusnya tidak diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Berdasarkan argumentasi tersebut, para Pemohon meminta MK agar Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah batal atau tidak berlaku dengan menggantinya dengan, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.” (Nano Tresna Arfana)