Aturan mengenai alat berat seperti yang diatur dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berlaku untuk alat berat yang memenuhi syarat sebagai dan merupakan kendaraan bermotor. Kendaraan berat yang dimaksud adalah alat berat yang bersifat berjalan atau Mobile Heavy Equipment menuntut perlakuan khusus.
Hal ini disampaikan oleh ahli yang diajukan oleh Pemerintah Dwi Wahyono Syamhudi dalam sidang pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (23/4) di Ruang Sidang MK. Perkara dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Mapan.
“Kekhususan alat berat, yang bersifat berjalan atau mobile heavy equipment menuntut perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu antara lain adalah tadi, kemungkinan untuk membawa ban serep, kemungkinan untuk bamper, dan sebagainya. Itu perlu ada pengaturan khusus dan pengujian baik pengujian berkala maupun pengujian tipe, itu hanya berlaku untuk alat berat yang termasuk dalam kelompok kendaran bermotor yang akan dioperasikan dan dioperasikan di jalan. Jadi tidak berlaku untuk alat berat, dan juga tidak dioperasikan di jalan,” papar Wahyono di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Ia menerangkan sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (1) pengujian kendaraan bermotor baru diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di jalan. Sehingga kendaraan khusus ini belum termasuk yang diwajibkan untuk uji berkala, tetapi kendaraan khusus yang akan digunakan di jalan itu harus memenuhi uji tipe. “Kecuali, yang mungkin kami tambahkan penjelasan bahwa yang sekarang sudah ditetapkan seperti dump truck, seperti rangkaian mobil penarik dengan semi trailer yang mengangkut alat berat yang dia sudah ditetapkan sebagai mobil barang, tentu dia harus memenuhi semua itu,” terangnya.
Beda Fungsi
Sementara itu, bertolak belakang dengan pendapat tersebut, Yohannes Prayuda selaku ahli yang diajukan Pemohon menuturkan ketiadaan definisi pasti mengenai alat berat dalam UU LLAJ telah menimbulkan tafsir yang berbeda dalam mengategorikan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Alat berat, menurut Yohannes, adalah alat bantu mesin yang digunakan oleh manusia untuk mengerjakan pekerjaan yang berat atau sulit untuk dikerjakan dengan tenaga manusia.
“Contoh dalam hal ini misalnya mengangkat benda dalam ukuran besar dan berat kita gunakan crane untuk melakukannya. Karena alat berat merupakan mesin, maka yang mengerjakannya atau yang menjalankannya lazim disebut sebagai operator. Di Indonesia sejauh yang kami ketahui, belum ada acuan tentang definisi alat berat dalam peraturan perundangan yang berlaku,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menerangkan alat berat tidak bisa dimasukkan ke dalam golongan kendaraan bermotor karena memiliki berbagai perbedaan fungsi, spesifikasi, cara kerja, dan aspek kesesuaian dengan peraturan, baik di dalam negeri maupun internasional.
Dalam sidang sebelumnya, para pemohon yang diwakili oleh Ali Nurdin selaku kuasa hokum, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ berbunyi: “Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane”. UU LLAJ menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. (Lulu Anjarsari)