Pemerintah diwakili Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi mengatakan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dimohonkan dua orang terdakwa pencemaran nama baik Agus Slamet dan Komar Raenudin bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Wicipto menegaskan permohonan pengujian frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ dalam Pasal 319 KUHP bukan merupakan constitutional review, melainkan constitutional complain. Sementara Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap, apakah suatu norma undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, bukan terhadap penerapan atau implementasi suatu norma yang dirasa oleh penggugat telah melanggar hak-hak konstitusionalnya.
“Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memilki kedudukan hukum,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 31/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (23/4).
Oleh karena itu, Pemerinta memohon Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Namun, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya.
Lebih lanjut, dalam pokok permohonan yang menyatakan pemberlakuan Pasal 319 KUHP untuk frasa kecuali berdasarkan Pasal 316 KUHP memungkinkan terjadinya ketidakpastian hukum, yakni orang yang tidak terkena kejahatan penghinaan dapat melaporkan seseorang yang dianggap telah melakukan tindakan penghinaan terhadap orang lain, Pemerintah beranggapan dalil tersebut tidak benar. Menurut Pemerintah, Pasal 319 KUHP justru menjadi fakta bahwa hukum diterapkan untuk kepastian hukum. Sebab, berdasarkan teori yuridis dogmatik, kepastian hukum merupakan sesuatu yang penting. “Tidak menjadi persoalan apakah dalam menerapannya dirasakan tidak adil atau tidak memberikan manfaat bagi masyarakat,” imbuhnya.
Dengan demikian, Pemerintah menilai pemberlakuan Pasal 319 KUHP, khususnya frasa kecuali berdasarkan Pasal 316 KUHP, sangat penting untuk diterapkan. Menurut pemerintah, anggapan Pemohon yang mendalilkan ketentuan a quo, bertentangan dengan Konstitusi adalah keliru dan tidak benar. “Dengan pemberlakuan ketentuan tersebut, justru memberikan kepastian hukum bagi pelaku agar menghindari tuntutan yang lebih besar dari tuntutan yang sebenarnya,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemohon yang merupakan terdakwa kasus pencemaran nama baik Walikota Kota Tegal saat Pilwakot Tegal 2013 mengajukan uji materi Pasal 319 KUHP. Pemohon menilai dakwaan itu tidak akan terjadi apabila frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ dalam Pasal 319 KUHP dihapus. Sebab, frasa tersebut sudah tidak relevan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13-027/PUU-IV/2006 yang pada intinya Mahkamah menyatakan bahwa seorang presiden dan wakil presiden tidak dapat diberikan privilege atau hak istimewa yang menyebabkan mereka memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif, martabatnya berbeda di hadapan hukum dan warga negara lainnya.
Pemohon memandang presiden dan walikota merupakan pejabat negara sehingga pertimbangan dalam putusan tersebut juga berlaku untuk seluruh pejabat negara, termasuk walikota Tegal. “Sesuai dengan konsep demokrasi kedaulatan rakyat, maka tidak ada yang diperlakukan berbeda,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Kurniawan pada sidang perdana, Kamis (19/3).
Adapun Pasal 316 menyatakan,
Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
Sedangkan Pasal 319 menyatakan,
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.
Masih berlakunya frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ dalam Pasal 319 KUHP dinilai telah memberikan ruang kepada seorang pejabat untuk mendapatkan privilege dan dan memperlakukan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dan warga negara lainnya. Sebab, aturan tersebut menyatakan apabila tindak pidana terjadi pada pejabat negara, maka tidak memerlukan delik aduan. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menganggap menganggap frasa dalam pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. (Lulu Hanifah)