Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Pemohon pada Rabu (22/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Rencananya, dalam sidang kali ini Pemohon akan menghadirkan dua orang saksi. Namun salah satu saksi, yakni hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Indrustial pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang tidak bisa menghadiri persidangan. Untuk itu, Pemohon hanya menghadirkan Wahdanang, saksi yang pernah menjadi pekerja tetap di sebuah perusahaan.
Di dalam persidangan, Wahdanang menyampaikan bahwa dirinya telah bekerja selama tujuh tahun di sebuah perusahaan. Namun pada 2012, Ia dan rekan-rekannya yang berjumlah 368 orang diberhentikan karena melakukan mogok kerja. Setelah diberhentikan, Ia dan pekerja lainnya tidak memperoleh hak-haknya dari pihak perusahaan. “Kami dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian sama sekali baik berupa gaji atau yang lain, tidak ada,” papar Wahdanang di hadapan majelis sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Wahdanang juga menyampaikan bahwa perusahan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Justru, Wahdanang mengatakan bahwa yang melakukan gugatan ke PHI adalah para pekerja yang di-PHK. Namun dari seluruh pekerja yang diberhentikan tersebut, hanya lima orang yang menggugat karena hanya mereka saja yang mempunyai data lengkap untuk mengajukan gugatan. Data tersebut yakni kartu anggota serikat pekerja, kartu tanda penduduk, dan kartu pekerja di perusahaan. Namun, gugatan mereka pun akhirnya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). “Karena waktu itu setahu saya di gugatannya meminta supaya nota dinas itu memiliki kekuatan hukum dan waktu itu hakim menjawab PHI tidak mempunyai kewenangan untuk itu,” urai Wahdanang.
Atas keterangan tersebut, Kasubag Litigasi Biro Hukum Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Umar Kasim selaku wakil pemerintah menjelaskan bahwa sesungguhnya gugatan bisa dikuasakan kepada serikat pekerja. “Kan di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 (UU Serikat Pekerja/ Serikat Buruh) mengatakan bahwa gugatan itu dikuasakan kepada serikat pekerjanya, kenapa Saudara tidak mengkuasakan itu,” kata Umar sembari menanyakan apakah saksi juga bagian dari lima orang yang mengajukan gugatan.
Menjawab pertanyaan itu, Wahdanang menyatakan bahwa dirinya bukan merupakan bagian dari lima orang yang mengajukan gugatan, karena pada waktu itu kartu tanda penduduk yang dimilikinya dalam masa tidak berlaku. Tetapi Ia menegaskan bahwa dirinya mengikuti proses persidangan.
Dalam sidang kali ini, Pemohon juga memberikan tambahan alat bukti, di mana terdapat putusan PHI yang melakukan pemeriksaan perselisihan hubungan industrial dengan mekanisme permohonan (voluntair), bukan gugatan sengketa (contentiosa).
Sebelumnya, Perkara yang teregistrasi dengan nomor 20/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Muhammad Hafidz, dkk yang merupakan para buruh/pekerja. Pemohon merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan diberlakukannya mekanisme gugatan contentiosa dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di PHI karena menimbulkan ketidak-adilan bagi buruh/pekerja. Ketidak-adilan ini terjadi karena buruh/pekerja akan terpaksa/dipaksa untuk mengajukan gugatan, padahal ada ketidakseimbangan sumber daya antara buruh dan pengusaha. Untuk itu, Pemohon menganggap mekanisme gugatan contentiosa sebagaimana dianut dalam UU PPHI lebih menguntungkan pihak pengusaha. (Triya IR).