Tidak ada kewajiban yang mengharuskan bagi kepaniteraan pengadilan negeri untuk memberitahukan adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan kepada pihak tergugat. Hal ini disampaikan oleh I Putu Sudiartana selaku perwakilan DPR dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ((UU Arbitrase) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (21/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 19/PUU-XIII/2015 dimohonkan oleh Ongkowijoyo Ongkowarsito.
“Hal tersebut karena faktanya Pemohon (sebagai tergugat, red.) telah menerima pemberitahuan adanya putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan hal tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan dalam tata cara pelaksanaan putusan yang diatur dalam hukum acara perdata,” jelas Sudiartana di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sudiartana juga menjelaskan mengenai permasalahan jangka waktu pemberitahuan adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional oleh panitera pengadilan hal tersebut semata-mata merupakan permasalahan teknis bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas. “Berdasarkan penjelasan di atas DPR berpendapat bahwa Ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 undang-undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” terang Sudiartana.
BANI Bantah Dalil Pemohon
Dalam sidang tersebut, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang diwakili oleh M. Husseyn Umar juga hadir sebagai Pihak Terkait. Husseyn menerangkan bahwa kewenangan Pengadilan Jakarta Pusat hanya menetapkan menerima atau menolak, bukan membatalkan permohonan eksekusi putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
“Dengan demikian pernyataan Pemohon bahwa ketiadaan aturan tenggang waktu pendaftaran dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan pemberitahunan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dari pihak Pengadilan Jakarta Pusat yang dinilai merampas hak permohonan eksekusi atau pihak yang terkait di dalamnya yang berakibat termasuk kehilangan hak mengajukan permohonan pembatalan arbitrase adalah tidak benar dan tidak terbukti,” paparnya.
Ia justru mengungkapkan penghapusan Pasal 67 ayat (1) berakibat timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini karena akan mengingkari hak-hak konstitusional pihak yang memenangkan perkara untuk memperoleh manfaat dan keadilan hukum dari putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat. “Ketiadaan aturan atau tenggang waktu dalam Pasal 67 ayat (1) tidaklah merampas hak termohon eksekusi dan tidak berakibat mengeksekusi kehilangan hak mengajukan permohonan pembatalan. “Dengan demikian Mahkamah Konstitusi sudah sewajarnya dan sepatutnya menolak mengabulkan permohonan penghapusan Pasal 67,” tegasnya.
Pemohon merupakan salah satu pihak yang diputus dalam putusan arbitrase internasional pada tanggal 14 Desember 2012, yakni putusan The International Cotton Association yang ada di Liverpool. Putusan tersebut didaftarkan pada tanggal 5 Mei 2014 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pemohon baru mengetahui adanya pendaftaran tersebut pada tanggal 14 Agustus 2014. Pendaftaran dan penyerahan arbitrase internasional tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena pihak Pemohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional bisa kapan saja memndaftarkan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan bahkan ada yang didaftarkan bahkan lebih dari satu tahun setelah diputuskan oleh Lembaga Arbitrase Internasional.
Untuk itulah, dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase terkait dengan ketentuan yang mengatur batas waktu penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Pemohon menjelaskan telah terjadi ketidakpastian hukum dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1). Hal itu karena tidak ada pengaturan mengenai batas akhir penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Sedangkan pihak yang ingin melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional dibatasi waktu 30 hari. Hal tersebut menurut Pemohon dinilai menyebabkan diskriminasi hukum bagi Pemohon yang bisa saja kehilangan hak untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase dikarenakan pasal a quo tidak mensyaratkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemberitahuan adanya pendaftaran/penyerahan Putusan Arbitrase Internasional kepada pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase tersebut. (Lulu Anjarsari)