Ketentuan pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali di Mahkamah Agung kembali digugat. Aturan yang tertuang dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dimohonkan oleh Muhammad Zainal Arifin yang berprofesi sebagai advokat.
Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut berpotensi merugikan Peohon karena tidak dapat menegakkan hukum dan keadilan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menimpa klien Pemohon. Sebab, upaya peninjauan kembali perkara pidana untuk kedua kalinya berpotensi tidak diterima, padahal dalam rencana permohonan peninjauan kembali, Pemohon selaku advokat telah mengumpulkan beberapa novum yang dapat mempengaruhi putusan sebelumnya.
Lebih lanjut, MK juga telah menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali bertentangan dengan Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Namun, Mahkamah Agung memutuskan PK untuk perkara pidana hanya satu kali melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang mengacu pada Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pemohon menilai ketidakkonsistenan antara Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dengan Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 yang telah membatalkan ketentuan pembatasan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali dalam perkara pidana, telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika ketentuan pembatasan Peninjauan Kembali diberlakukan terhadap perkara pidana, imbuh Pemohon, maka ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Dengan pembatasan peninjauan kembali terhadap perkara pidana, maka mengakibatkan hak konstitusional warga negara atas keadilan menjadi terlanggar,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Riko Wibawa Sitanggang pada sidang perdana perkara nomor 45/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (21/4).
Pemohon berpendapat keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Sebab, mungkin saja setelah diajukannya peninjauan kembali dan diputus, ada keadaan baru novum yang substansial baru ditemukan pada saat PK sebelumnya belum ditemukan sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.
Terkait legal standing, Pemohon berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yakni Mahkamah Konstitusi menerima legal standing seorang advokat dalam menguji UU MA karena seorang advokat dalam profesinya akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, secara langsung memerlukan kepastian hukum atas segala hal yang berhubungan dengan lembaga Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali untuk perkara pidana.
Legal Standing
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Anwar Usman mempertanyakan legal standing pemohon sebagai pemohon prinsipal yang berprofesi sebagai advokat. Menurut Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, pihak yang berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan UU a quo adalah pihak yang berperkara, dengan kata lain adalah klien pemohon. “Jadi jangan anggapan (kerugian konstitusional) kepada orang lain,” ujarnya.
Majelis Hakim juga menyarankan Pemohon untuk berfokus kepada undang-undang yang diujikan. Sebab, kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Terkait SEMA, Pemohon bisa mempersoalkan putusan MK yang bersifat erga omnes. “Saudara bisa mempersoalkan juga bagaimana halnya, sifatnya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes itu, apakah juga otomatis berpengaruh kepada undang-undang yang substansinya sama? Ini kan penafsiran,” imbuh Patrialis. (Lulu Hanifah)