Untuk yang kesekian kalinya, sekitar 140 guru SMP/MTs se-DKI Jakarta mengikuti temu wicara bertajuk Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta tersebut berlangsung pada Selasa (14/3) di gedung serbaguna MK lantai 4 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta.
Acara dimulai pukul 08.30 WIB dengan materi tentang Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945 yang disampaikan oleh Drs. Lukman Hakim Saifuddin, mantan anggota PAH I dan III BP MPR RI dengan moderator Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan MK, Kasianur Sidauruk, S.H.
Dalam paparannya Lukman Hakim menjelaskan bahwa perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung hingga empat kali merupakan tuntutan reformasi dalam sistem ketatanegaraan RI. Karena hingga 50 tahun usia UUD 1945, dirasakan banyak hal yang tak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Oleh karenanya, menurut politisi PPP ini, dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut para wakil rakyat yang duduk di MPR telah memberikan respon positif terhadap tuntutan perubahan yang disuarakan banyak kalangan, khususnya perubahan dalam sistem ketatanegaraan RI. Misalnya, adanya sistem Pemilihan Umum Presiden secara langsung, juga adanya semangat check and balances antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, serta dibentuknya MK sebagai pengawal konstitusi. MK antara lain memiliki fungsi untuk mengontrol hubungan antar lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI, kata Lukman.
Sedangkan sesi kedua, para peserta mendapatkan materi tentang Tugas dan Kewenangan MK sebagai Peradilan Konstitusi dan Hukum Acara di MK yang disampaikan oleh hakim konstitusi Letjen TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H. dengan moderator tenaga ahli MK Dr. Zen Zanibar, MZ, S.H. Dengan gaya bodor-nya, dalam pemaparannya Roestandi menguraikan tentang tugas, kewenangan dan kewajiban MK yang dibentuk setelah amandemen ketiga UUD 1945, baik menyangkut pengujian UU, sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil Pemilu dan impeachment presiden.
Menurut Roestandi, MK lahir dengan dilatarbelakangi beralihnya paradigma dari supremasi MPR ke check and balances. Juga sebagai konsekuensi dari demokrasi yang menganut rule of law dan rule of law yang demokratis, serta adanya konflik konstitusional yang tidak pas diselesaikan oleh peradilan yang ada. Selain itu, hakim konstitusi yang hobby bermain bulutangkis ini juga menegaskan bahwa MK yang menganut model Austria ini juga masih mencari bentuk dan kemapanan. Lebih jauh dikatakannya bahwa pendapat hakim konstitusi belum tentu merupakan pendapat MK. Roestansi juga menggambarkan betapa demokratisnya pengambilan keputusan di MK melalui mekanisme Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Jika dalam kalangan militer sembilan jenderal punya sembilan pendapat, maka dalam RPH seorang hakim bisa mempunyai sembilan pendapat, katanya.
Pada sesi ketiga, para peserta mendapatkan materi Kinerja MK Dalam Mengawal Konstitusi 2005 yang disampaikan Sekjen MK, Djanedjri M. Gaffar. Menurut Djanedjri, pada tahun 2005, MK menerima 24 permohonan yang semuanya adalah permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945. Selain itu, MK juga memeriksa dan memutus 12 sisa permohonan perkara tahun 2004. Secara keseluruhan, menurut Janed, keseluruhan permohonan yang diperiksa pada 2005 sebanyak 36 perkara. Dari 36 permohonan perkara tahun 2005 dan sisa tahun 2004 telah diputus sebanyak 28 perkara, dua perkara dalam tahap acara persidangan pleno, dua perkara dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, dan empat perkara dalam tahap registrasi dan penetapan Panitera Pengganti, kata Janed.
Pada pukul 14.00 WIB, setelah dilakukan dialog dan tanya jawab, akhirnya acara diakhiri dengan pembagian piagam serta cindera mata bagi para peserta. (WS. Koentjoro)