Mahkamah konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang dimohonkan oleh pimpinan KPK non-aktif, Bambang Wijoyanto, Senin, (20/04), dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pemohon.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, kuasa hukum pemohon, Abdul Fickar Fadjar mengatakan telah melakukan sejumlah perbaikan dalam permohonan dengan nomor perkara 40/PUU-XIII/2015. Perbaikan yang dilakukan pemohon antara lain adalah pada bagian kedudukan hukum pemohon, “mengenai legal standing ini juga kami sudah perbaiki, yang antara lain tekanannya pada bahwa Pemohon adalah warga negara yang diangkat melalui Keppres sebagai wakil ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kemudian karena telah dinyatakan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia, kemudian diberhentikan sementara.” jelas Abdul Fickar.
Menurut kuasa hukum pemohon, prinsipal dituduh melakukan tindak pidana yang peristiwanya terjadi pada tahun 2010 atau sekitar 5 tahun yang lalu ketika Pemohon menangani Perkara PHPU Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 perselisihan hasil pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi. Menurut Abdul dugaan tersebut dalam sangkaan pidana di atas kliennya tidak berkaitan sama sekali dengan penyalahgunaan kewenangan dan/atau tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam menjalankan jabatannya sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bukan tindak pidana berat lainnya seperti korupsi, terorisme, perdagangan orang, narkoba, dan illegal logging.
Abdul berargumen bahwa penetapan menjadi tersangka dan pemberhentian sementara pemohon sebagai pimpinan KPK telah mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon karena tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Komisioner KPK hingga akhir masa jabatan Desember 2015. Selain itu, Abdul menilai ketentuan Pasal 32 ayat (2) telah menimbulkan ketidakpastian hukum disebabkan oleh ketidakjelasan batas waktu pemberhentian sementara dan mekanisme pemulihan status hukum Pemohon sebagai Pimpinan KPK. Pemohon juga berpandangan apa yang dialami oleh pemohon menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga dan aparat penegak hukum, khususnya pimpinan KPK, termasuk juga Pemohon.
Pemohon pada dasarnya tetap setuju bahwa keberadaan norma yang mengatur tersangka diberhentikan sementara itu diberlakukan pada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi agar standar moral yang tinggi dari Pimpinan KPK menjadi menjadi contoh bagi pejabat negara dengan integritas terbaik agar dapat menjalankan tugas negara yang luar biasa untuk memberantas korupsi. Namun demikian, meskipun setuju norma Pimpinan KPK diberhentikan sementara jika berstatus tersangka, agar pelaksanaannya tidak rentan atas pelanggaran dan menjadi diskriminatif, maka Pemohon memandang perlu untuk meminta kepada MK untuk memberikan atas frasa tersangka tindak pidana kejahatan dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemohon menilai ketentuan pemberhentian sementara berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, serta kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. “Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan perlakuan yang berbeda antara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pejabat negara lainnya,” terang Abdul.
Menurutnya, pemberhentian sementara yang diatur dalam pasal tersebut pada kenyatannya berupa pemberhentian yang bersifat tetap karena tidak ada mekanisme pengaturan dari pemberhentian sementara menjadi pemberhentian yang bersifat tetap. Pemohon sebagaimana dalam persidangan yang lalu juga memberikan beberapa perbandingan dengan lembaga lain, terutama yang mengatur mengenai pemberhentian sementara, antara lain Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, kemudian Komisi Yudisial, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Negara. Berdasarkan perbandingan-perbandingan beberapa undang-undang itu, pemohon menyimpulkan beberapa hal yang pertama. Bahwa pengaturan mengenai pemberhentian sementara dalam beberapa undang-undang yang ditujukan kepada pejabat atau penyelenggara negara yang status hukumnya dikualifikasi sebagai terdakwa dan bukan sebagai tersangka.
Selain itu menurut Pemohon, ketentuan dalam UU KPK tersebut tidak mengatur mekanisme, prosedur, dan waktu dilakukannya tindak pidana. Pemohon dalam permohonannya menyatakan ketentuan tersebut dapat diterima jika penetapan pemberhentian sementara pimpinan KPK didasarkan pada kualifikasi jenis tindak pidana berat seperti korupsi, terorisme, perdagangan orang, narkotika, dan illegal logging, dan tindak pidana yang diancam pidana mati, serta perbuatan pidana itu dilakukan pada masa periode jabatannya.
Bambang Wijoyanto melalui kuasa hukumnya menilai UU KPK berpotensi menjadikan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara tanpa perlindungan dan kepastian hukum karena tidak didasarkan atas kualifikasi delik tertentu, hal itu mengakibatkan kerugian konstitusional pemohon yang telah dijamin dalam konstitusi. “Sehingga hal demikian sangat bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum, sebagaimana dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang hak setiap orang atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta hak atas perlakuan yang sama di depan hukum, serta kepastian hukum yang adil,” ujar Abdul Fickar.
Sementara salah satu kuasa hukum pemohon lainnya, Budi Setyanto, mengatakan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK jika ditetapkan sebagai tersangka harus dibatasi agar tidak menjadi modus melumpuhkan KPK. Dengan argumentasi tersebut pemohon meminta kepada Mahkamah agar tindak pidana yang dimaksud dalam UU KPK adalah tindak pidana korupsi, terorisme, perdagangan orang, narkotika, dan illegal logging, serta tindak pidana yang diancam pidana mati, dan tindak pidana itu terkait dengan kewenangannya, yang dilakukan pada masa jabatannya. Tuntutan pemohon lainnya adalah, komisioner KPK hanya dapat dikenakan tindak polisional atas perintah Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. “Penetapan Komisioner KPK sebagai tersangka dapat dilakukan setelah diusulkan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mendapat izin Presiden.” pungkas Budi. (Ilham)