Mahkamah Konstitusi memutus menolak pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Putusan tersebut menguatkan status hakim ad hoc adalah bukan pejabat negara.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (20/4).
Dalam pertimbangan putusan nomor 32/PUU-XII/2014 tersebut, Mahkamah menyatakan dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus. Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat Negara..
Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. “Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus, sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika bersama hakim karir menangani sebuah perkara,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Adanya pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, sifat, pola rekruitmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya bagi hakim ad hoc berbeda dengan hakim karier. Selain itu, hakim ad hoc memiliki ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara.
Lebih lanjut, UUD 1945 tidak menentukan batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara. Penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang. Perubahan tersebut disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. “Dengan demikian, penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang,” jelas Anwar.
Perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karier, ditegaskan Mahkamah tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya.
Menurut Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karir sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, sebanyak sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia menilai Pasal 122 huruf e UU ASN imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal a quo, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Pemohon dalam sidang perdana, Senin (7/4) silam.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. (Lulu Hanifah)