Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Putusan tersebut menekankan bahwa etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum secara normatif tidak dapat saling meniadakan atau saling menggantikan.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (20/4).
Dalam putusan nomor 14/PUU-XII/2014 tersebut, Mahkamah berpendapat sudah sewajarnya profesi dokter dan dokter gigi diberikan keistimewaan karena posisinya memiliki kaitan signifikan dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Keistimewaan profesi dokter dan dokter gigi terlihat pada aturan yang mengikat para dokter dan dokter gigi. Selain diatur secara etika, profesi dan praktik profesi kedokteran maupun kedokteran gigi diatur berdasarkan kaidah keilmuan (disiplin profesi) serta diatur pula menurut hukum.
Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah menilai pembentuk undang-undang sudah secara tegas mengakomodasi keberadaan etika sebagai bagian dari norma hukum, yaitu dalam UU Praktik Kedokteran. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e dan Pasal 51 huruf a UU Praktik Kedokteran.
“Dimasukkannya etika profesi dan disiplin profesi ke dalam suatu Undang-Undang, menurut Mahkamah harus dipahami bahwa pembentuk Undang-Undang memberi penekanan pentingnya etika profesi dan disiplin profesi untuk dilaksanakan sebagai pedoman bagi perilaku dokter atau dokter gigi,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan Pendapat Mahkamah.
Mahkamah menegaskan meskipun etika profesi dan disiplin profesi diatur dalam Undang-Undang, tidak dapat langsung diartikan bahwa etika dan disiplin profesi dimaksud memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan norma hukum yang berada di dalam Undang-Undang yang sama.
Jika etika profesi dan disiplin profesi diberi kekuatan berlaku yang sama dengan norma hukum di dalam Undang-Undang, maka konsekuensinya adalah pelanggaran terhadap etika profesi dan disiplin profesi akan dikenai sanksi hukum, terutama sanksi pidana dan sanksi perdata. “Padahal pelanggaran atas etika profesi dan disiplin profesi hanya dapat dikenai sanksi secara etika pula dan/atau secara administratif,” imbuh Patrialis.
Terkait adanya perbedaan mendasar antara etika profesi dan disiplin profesi dengan norma hukum, Mahkamah berpandangan keberadaan etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum, yang masing-masing mengancamkan sanksi tertentu, bukan merupakan penjatuhan sanksi ganda bagi satu perbuatan. Jika satu perkara dijatuhkan sanksi etika, sanksi disiplin, dan sanksi hukum, hal itu bukan sanksi ganda karena masing-masing memiliki dimensi berbeda.
Lingkup Kedokteran
Mahkamah menegaskan, tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata selama standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut terkait dengan keistimewaan profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. “Meskipun bisa jadi tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi hukumnya,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Perbedaan tersebut, menurut Mahkamah, memberikan dasar yang kuat bagi penegak hukum maupun pengadilan, baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan itu harus dilakukan atau ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran sebagai rujukan utama dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan.
Sebelumnya, Dokter Indonesia Bersatu menilai Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan konstitusi karena membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dengan penafsiran yang terlalu luas tersebut, membuat pelanggaran kedisiplinan sorang dokter menjadi kasus pidana. Hal ini juga menimbulkan ketakutan di kalangan dokter untuk mengambil tindakan terhadap pasien yang memiliki resiko tinggi tinggi ataupun untuk melakukan tindakan dalam keadaan darurat karena dapat dipersalahkan kelalaian yang dapat mengakibatkan kematian seseorang.
Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran berbunyi:
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang”
Para pemohon meminta MK agar menetapkan Pasal a quo menjadi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, dengan ketentuan dugaan tindak pidana dan/atau kerugian perdata itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata) dan/atau menimbulkan kerugian perdata”. (Lulu Hanifah)