Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) - Perkara 113/PUU-XII/2014. “Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Arief Hidayat dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (20/4) siang di ruang sidang pleno MK.
Mahkamah menilai Pasal 2 huruf e tidak tepat jika dimaknai sebagai halangan bagi hak Pemohon untuk mengajukan gugatan kepada PTUN, karena Pemohon sebenarnya telah diberi kesempatan melakukan upaya hukum dalam perkara yang putusannya menjadi dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara bersangkutan.
Mahkamah juga tidak menemukan adanya pertentangan antara norma Pasal 2 huruf e UU PTUN dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah menilai permohonan Pemohon mengenai Pasal 2 huruf e UU PTUN tidak beralasan menurut hukum.
Selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN yang pada pokoknya mengatur tata cara perlawanan terhadap penetapan dari ketua PTUN yang menyatakan suatu permohonan tidak diterima atau tidak berdasar. Menurut Pemohon, keberadaan ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena upaya hukum berupa perlawanan terhadap penetapan yang dimaksud oleh Pasal 62 ditangani oleh majelis hakim dari PTUN itu sendiri sehingga mengakibatkan obyektivitasnya diragukan.
Setelah mencermati permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN sesungguhnya tidak mengatur mengenai majelis hakim yang akan menangani gugatan perlawanan terhadap penetapan ketua pengadilan, meskipun kemudian ketentuan Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN dalam praktiknya ditafsirkan demikian karena gugatan tata usaha negara memang diajukan kepada PTUN dimaksud.
Menurut Mahkamah, akan menjadi tidak benar apabila perlawanan terhadap penetapan dismissal ditangani oleh PTUN yang berbeda, padahal jika gugatan perlawanan tersebut dikabulkan maka pokok gugatan akan diperiksa dan diadili oleh PTUN sebelumnya.
Pemohon juga mendalilkan ketentuan Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, namun tidak menjelaskan letak pertentangannya. Setelah mencermati Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, Mahkamah tidak menemukan adanya pertentangan antara Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN dengan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena justru Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan secara tegas dan jelas keberadaan peradilan tata usaha negara sebagai salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Sementara Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN tidak beralasan menurut hukum.
Seperti diketahui, permohonan yang diajukan oleh Nico Indra Sakti ini mempermasalahkan Pasal 2 huruf e dan Pasal 62 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU PTUN. Pemohon merasa, ketentuan Undang-Undang tersebut telah menghilangkan, membatasi, atau setidak-tidaknya telah menghalang-halangi haknya melakukan upaya hukum, terutama hak untuk mengajukan pemeriksaan sengketa terhadap keputusan tata usaha negara dari organ yudisial. Hal tersebut berawal dari tidak diterimanya permohonan pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh Pemohon terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai pejabat tata usaha negara pada organ yudikatif.
Pemohon melanjutkan, Pasal 2 huruf e PTUN tersebut dapat disalahgunakan oleh penyelenggara peradilan untuk melindungi keputusan pejabat tata usaha negara organ yudikatif yang ilegal. Selain itu, Pasal tersebut juga berpotensi disalahgunakan oleh PTUN untuk menggagalkan upaya pencari keadilan dalam mencari kebenaran materiil.
Selain ketentuan tersebut, Pemohon juga menguji materi Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU PTUN. Menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan sistem dua tingkat penyelenggaraan pengadilan sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sehingga bertentangan dengan penegakkan hukum dan keadilan serta merusak sistem hukum. (Nano Tresna Arfana)