Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (20/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 39/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Ina Mutmainah yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan pengawasan internal hakim oleh Mahkamah Agung (MA), sebagimana diatur dalam Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasan Kehakiman. Pada kesempatan itu, Kuasa Hukum Pemohon Dian Fariska menyatakan telah melakukan perbaikan permohonan terkait dengan kedudukan hukum, kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim serta obyek pengujian.
“Jadi saran-saran Yang Mulia sudah kami perbaiki, yaitu yang pertama tentang legal standing, yang kedua tentang apakah Komisi Yudisial berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan baik Hakim Agung atau hakim di badan-badan peradilan di bawahnya. Kemudian yang ketiga, mengapa Pasal 32A dimasukkan dalam uji norma, padahal Pasal 32A itu terkait Mahkamah Agung, terkait pengawasan di Mahkamah Agung, padahal Pemohon ini adalah korban dari hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda,” papar Dian di hadapan majelis panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Terkait dengan kedudukan hukum, Dian menyampaikan bahwa Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang taat membayar pajak. Menurut Dian, alasan Pemohon mengalami kerugian hak konstitusional karena Pemohon adalah korban perbuatan seksual yang dilakukan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Kalianda. Pemohon kemudian melaporkan perbuatan tersebut ke MA dan KY, namun terdapat dua keputusan yang berbeda dari dua lembaga negara tersebut.
“Pemohon melaporkan kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menuntut keadilan. Dari hasil laporan itulah terdapat dua keputusan yang berbeda antara Mahkamah Agung memberikan keputusan, yaitu hakim nonpalu selama dua tahun pada Pengadilan Banda Aceh dan Komisi Yudisial memberikan keputusan pemberhentian tetap dengan hak pensiun,” urai Dian.
Dian berpendapat bahwa adanya dua keputusan yang berbeda membuat adanya ketidakpastian hukum. Padahal menurutnya, lembaga yang diberi kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, baik Hakim Agung maupun hakim di badan peradilan di bawahnya adalah KY. Untuk itu, Dian berpandangan bahwa adanya ketentuan pengawasan internal hakim oleh MA dalam Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman mengakibatkan ketidakpastian hukum. Sehingga, lanjut Dian, telah jelas kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon.
“Sangat jelas terdapat hubungan sebab akibat kerugian hak konstitusional Pemohon terhadap berlakunya Pasal 32A ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urai Dian.
Lebih lanjut, Dian menyatakan bahwa KY memang tidak mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan hakim. Namun menurut Dian, peran KY perlu diperkuat dalam hubungan kerjanya dengan MA. “Untuk ke depan sebaiknya Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan cukup diberikan tugas dan kewenangan mengurusi dan mengawasi kualitas putusan hukum seperti sebelumnya. Sementara urusan administrasi keuangan, birokrasi, dan penegakkan perilaku Hakim diserahkan kepada lembaga lain. Dalam hal ini yang tepat adalah Komisi Yudisial sebagaimana yang dilakukan Komisi Yudisial Negara Belanda,” kata Dian.
Kemudian, meskipun Pemohon telah dirugikan oleh Hakim Pengadilan Negeri, namun Pemohon tetap memasukkan Pasal 32 ayat (1) sebagai objek pengujian. Hal ini dikarenakan antara Pasal 32A ayat (1) UU MA dengan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman terdapat keterkaitan dengan pengawasan. Lebih lanjut, Dian menyatakan bahwa KY merupakan lembaga yang berhak secara utuh mengawasi hakim, baik hakim agung maupun hakim pada badan peradilan di bawah MA. ”Sesungguhnya yang berhak untuk mengawasi baik hakim agung maupun hakim pada badan peradilan di bawahnya secara utuh sebagaimana dalam konstitusi, Undang-Undang Komisi Yudisial dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Perkara 005/PUU-VI/2006 tertanggal 23 Agustus 2006 adalah Komisi Yudisial,” ungkap Dian.
Setelah mendengarkan perbaikan permohonan, Wakil Ketua MK Anwar Usman mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. “Jadi semua yang disampaikan tadi sudah menjadi satu kesatuan dan tentu pemeriksaan pendahuluan ini Majelis menganggap sudah cukup, ya. Sekarang pengesahan alat bukti P-1 sampai dengan P-9,” kata Anwar. (Triya IR)