Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan agenda perbaikan permohonan, pada Senin (20/4), siang di Ruang Sidang Pleno MK. Mewakili para Pemohon lainnya, Abraham Amos menyatakan bahwa perbaikan dilakukan terhadap alasan-alasan pokok permohonan. Menurutnya, pokok permasalahan terkait dengan adanya tindakan-tindakan ketidakpatuhan terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
“Alasan-alasan yang menjadi pokok permasalahan itu kami langsung kepada inti persoalan yang sebenarnya terkait dengan tindakan-tindakan ketidakpatuhan terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, jelasnya demikian. Kemudian, beberapa SK MA yang diterbitkan yang kami istilahkan bahwa sudah mengabaikan apa yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” urai Abraham di hadapan majelis panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Lebih lanjut, Abraham menyatakan bahwa para Pemohon merasa dirugikan karena terdapat penafsiran dari pihak terkait terhadap putusan MK sebelumnya. Selain itu, Pemohon juga memperjelas tentang diskriminasi yang dihadapinya. Menurut Pemohon Kepala Pengadilan Tinggi wajib melaksanakan sumpah advokat tanpa membedakan dari mana organisasinya, sesuai dengan perintah dalam putusan MK.
“Kami mempertegas lagi diskriminasi yang dilakukan, sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi bahwa kewenangan daripada KPT (Kepala Pengadilan Tinggi) adalah wajib melaksanakan sumpah advokat tanpa membedakan advokat itu dari organisasi mana pun juga. Nah, kami perjelas di situ,” papar Abraham.
Mempertegas kerugian konstitusional, salah satu Pemohon Johni Bakar menyatakan bahwa inti permasalahannya adalah adanya pembatasan hak beracara advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI).
“Persoalan ini sebenarnya terletak kepada dibatasi hak beracara kami. Jadi, kami melihat dan kawan-kawan di seluruh Indonesia itu hanya melihat persoalan itu. Tentang bagaimana isi daripada undang-undang itu sendiri mungkin bagi kami tidak ada problem, gitu lho, tentang ketentuan wadah tunggal yang mana yang kami pahami dalam Putusan 101 itu memang dinyatakan PERADI dan KAI itu de facto. Berarti sampai dengan hari ini Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat itu belum mempunyai wadah tunggal sebagaimana yang dimaksud dari undang-undang a quo,” ungkap Johni.
Selanjutnya, Pemohon juga menyampaikan telah memperbaiki petitum permohonan. Pemohon meminta kepada majelis hakim agar menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) undang-undang a quo sepanjang frasa di pengadilan tinggi dan frasa oleh panitera pengadilan tinggi yang bersangkutan bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah mengesahkan alat bukti, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan bahwa majelis panel sudah bisa menangkap apa yang menjadi permasalahan dalam permohonan. “Panel sudah bisa menangkap apa yang menjadi pesan dari Para Pemohon yang mewakili teman-teman yang tidak bisa diterima beracara ketika tidak atau belum bisa menunjukkan berita sumpah yang dilakukan oleh pengadilan tinggi,” kata Suhartoyo. Selanjutnya, Suhartoyo menyampaikan kepada Pemohon bahwa permohonan tersebut akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim.
Untuk diketahui, pada sidang sebelumnya Hakim Konstitusi Suhartoyo sempat menyatakan bahwa berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK, sebenarnya sudah terdapat akses untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan penyumpahan. “Yang di putusan yang lalu bahwa supaya diselesaikan oleh kedua organisasi, dan kalau tidak ditemukan kemudian bisa diteruskan atau diambil alternatif ke penyelesaian di Peradilan Umum, apakah oleh pihak KAI sudah dicoba penyelesaian melalui peradilan umum?” tanya Suhartoyo. (Triya IR)