Sidang pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) - Perkara No. 25/PUU-XIII/2015 pada Senin (20/4) siang di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) berlangsung singkat. Pasalnya, baik Ahli Pemohon maupun Ahli Pemerintah yang rencananya akan memberikan keterangan ternyata berhalangan hadir.
“Agenda kita pada hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Ahli dari Pemerintah,” kata Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Namun ternyata Ahli Pemohon, Prof. Eddy O.S. Hiariej selaku Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta berhalangan hadir karena adanya agenda lain. Demikian pula Ahli Pemerintah, Prof. Romly Kartasasmita selaku pakar hukum pidana berhalangan hadir karena yang bersangkutan sedang menjalankan ibadah umrah.
“Mohon berkenan kalau Yang Mulia mengizinkan, kami akan menghadirkan Ahli pada sidang berikutnya,” kata Budiono wakil Pemeritah dari Kemenkumham. Hal yang sama juga disampaikan Syaefudin salah seorang Pemohon, bahwa pihaknya akan menghadirkan Ahli pada sidang berikutnya.
“Baik kalau begitu, keterangan Ahli Pemohon dan Ahli Pemerintah sudah kami terima secara tertulis. Karena sudah kami terima secara tertulis, maka tidak perlu dibacakan,” ujar Arief Hidayat.
“Kalau begitu sidang hari ini sudah selesai. Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin 11 Mei 2015 mendatang,” tandas Arief Hidayat menutup sidang.
Dalam persidangan, pihak Pemohon (Forum Kajian Hukum dan Konstitusi) seluruhnya hadir, kecuali dari elemen mahasiswa. Sementara pihak Pemerintah diwakili oleh Budiono dan pihak Terkait (KPK) diwakili oleh Rasamala Aritonang selaku kuasa hukum KPK.
Sebagaimana diketahui, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK. Pasal ini dinilai telah mengakibatkan tidak adanya kesamaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap KPK dibandingkan dengan penegak hukum lain, khususnya kepolisian. Hal ini terlihat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang tidak mengatur tentang pemberhentian apabila pimpinan Polri menjadi tersangka.
Adanya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan pimpinan KPK dengan mudah diberhentikan sementara oleh Presiden dengan adanya penetapan tersangka saja oleh Polri, padahal belum tentu status tersangka tersebut dinaikkan menjadi terdakwa. Proses penetapan tersangka oleh Polri dapat dilakukan hanya dengan bukti permulaan yakni laporan polisi dan satu alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.
Kewenangan tersebut dinilai Pemohon sangat besar dan dalam pelaksanaannya dapat memungkinkan terjadinya manipulasi kasus hanya untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka saja. Berlakunya aturan ini dinilai berpotensi mengakibatkan KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal dengan adanya penetapan tersangka terhadap para pimpinan KPK. Terlebih, jika penetapan tersangka dilakukan kepada seluruh pimpinan KPK sehingga membuat KPK mengalami kekosongan posisi pimpinan. (Nano Tresna Arfana)