Pemerintah menyatakan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sudah pada posisi yang tepat. Menurut Pemerintah ketentuan tersebut secara keseluruhan memang dimaksudkan tidak mengatur secara detail yang terkait dengan hukum acara.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menuturkan pengujian UU Mahkamah Agung oleh Pemohon ke Mahkamah Konstitusi kurang tepat. Pasalnya, dalam UU Mahkamah Agung maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 yang diubah dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tidak mengatur dengan rinci tentang hukum acara, baik adanya sidang terbuka dan putusan atau pembacaan putusan yang bersifat atau dibuka.
Namun demikian, Pemerintah sepakat apabila ada perubahan hukum acara dalam persidangan di Mahkamah Agung. “Pemerintah sendiri sebetulnya mendorong agar uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itu paling tidak dibuka sekali,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 30/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (16/4).
Mualimin mengaku Pemerintah tengah berdiskusi dengan Mahkamah Agung agar sidang uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dibuka untuk mendengarkan keterangan para pihak. Sebab, Pemerintah juga kesulitan untuk menyampaikan keterangannya ke Mahkamah Agung. “Kadang-kadang batas waktu 14 hari tahu-tahu sudah habis karena Pemohon seringkali menyampaikan permohonannya lewat pos,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia menegaskan hal yang tepat untuk mengakomodasi permohonan Pemohon adalah dengan mengatur hukum acara Mahkamah Agung di dalam Peraturan MA seperti pada Peraturan Mahkamah Konstitusi. Pemerintah berketetapan mestinya Pemohon mengajukan uji materiil terhadap peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 agar didorong menjadi peradilan yang atau pemeriksaan yang sifatnya terbuka, dan mengundang para pihak. “Mestinya, terkait dengan keinginan Pemohon, maka diatur di peraturan Mahkamah Agung itu sendiri,” ujarnya.
Pemerintah juga menyatakan permohonan Pemohon menjadi masukan bagi Pemerintah maupun DPR untuk mengadakan perubahan UU Mahkamah Agung melalui mekanisme legislative review. Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon kepada MK untuk menolak permohonan Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
Sebelumnya, Muhammad Hafidz sebagai Pemohon menilai kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh MA mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kewenangan penyelesaian perselisihan oleh badan peradilan. Pengujian peraturan perundang-undangan, lanjut Hafidz, mempunyai karakteristik putusan yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, putusan pengujian peraturan perundang-undangan akan mengikat bukan hanya kepada para pemohon, namun juga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya sidang digelar dengan sifat terbuka untuk umum.
“Nuansa public interest dalam pengujian ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan pembeda yang sangat jelas dengan perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain atau pemerintah,” papar Hafidz.
Lebih lanjut, Hafidz menyatakan bahwa tidak adanya pengaturan tentang proses pemeriksaan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang akan mengakibatkan tidak adanya batas-batas hukum bagi MA dalam menjalankan kewenangannya. “Akan menjadi liar karena tidak ada ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya, yaitu salah satunya untuk memeriksa dan memutus sebuah permohonan pengujian ketentuan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya,” imbuhnya (Lulu Hanifah)