Nurul Falah Eddy Pariang, Apoteker dan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia menuturkan sudah seharusnya pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Nurul menjelaskan pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented), menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik (passion oriented). Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
“Oleh karena itu, tenaga kefarmasian harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Tenaga kefarmasian juga perlu mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problem),” ujarnya pada sidang perkara nomor 16/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (16/4).
Tenaga kefarmasian, menurut Nurul, juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, tenaga kefarmasian dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi, serta mendokumentasikan segala aktifitas kegiatannya untuk melaksanakan semua kegiatan itu diperlukan standar pelayanan kefarmasian.
Dia menambahkan, tenaga kefarmasian dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan. “Sehingga, pada saat menjalankan pekerjaan kefarmasian, hubungannya sangat erat dengan patient safety,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Nurul berpendapat sudah saatnya pemerintah mengatur kewenangan dari masing-masing tenaga teknis kefarmasian berdasarkan strata pendidikannya, yaitu Sarjana Farmasi, Diploma Farmasi, dan SMK Farmasi, atau yang sederajat. Namun, dia menilai perlu adanya penghargaan untuk calon tenaga kesehatan lulusan SMK yang masih dalam masa pendidikan. Penghargaan itu antara lain lulusan SMK masih diberi kesempatan menjadi tenaga kefarmasian sampai batas waktu 2018. “Dengan pertimbangan Sekolah Menengah Farmasi atau yang sederajat tetap dapat memenuhi janjinya agar lulusannya tetap menjadi tenaga teknis kefarmasian,” ujarnya.
Lebih lanjut, mulai penerimaan Siswa Baru Tahun 2015, Sekolah Menengah Farmasi sebaiknya menyampaikan kepada calon siswanya bahwa setelah lulus nanti akan menjadi asisten tenaga kesehatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan.
Terakhir, bagi para lulusan SMK Farmasi yang pada saat UU Tenaga Kesehatan ditetapkan belum menjadi lulusan Diploma 3 sampai dengan enam tahun mendatang, dia mengimbau pemerintah untuk mengupayakan program melalui pendidikan maupun penyetaraan sebagaimana dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Tingkatkan Kualifikasi
Sementara Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Badan PPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Soebagyo Tancarino mengatakan saat ini terdapat sebanyak 146.542 tenaga teknis kefarmasian yang berpendidikan di bawah Diploma 3. Mereka bekerja di rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di seluruh Indonesia.
Soebagyo sebagai saksi yang dihadirkan Pemerintah menilai, dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, kualifikasi tenaga teknis kesehatan sebaiknya ditingkatkan dengan harapan semuanya bisa menjadi tenaga kesehatan. Menurutnya ada beberapa skema yang bisa ditempuh untuk memenuhi kualifikasi tersebut. Pertama, skema regular melalui pendidikan D3 bagi karyawan, dan yang kedua adalah pendidikan melalui Universitas Terbuka dengan kuliah jarak jauh. “Pendidikan jarak jauh dan ini tanpa meninggalkan pekerjaan,” jelasnya.
Terakhir, Soebagyo mengatakan peningkatan kualifikasi dapat ditempuh dengan menggunakan rekognisi pembelajaran lampau, yakni melalui perguruan tinggi yang diberi izin oleh dikti untuk melaksanakan tersebut.
Pada sidang perdana, Heru Purwanto, Guru Sekolah Menengah Farmasi Ditkes AD sebagai Pemohon, meminta MK untuk membatalkan Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan karena merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai guru sekolah farmasi.
Adapun Pasal 88 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan menyatakan,
Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Sedangkan Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan menyatakan,
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Menurutnya, ketentuan tersebut merugikan karena lulusan sekolah menegah tidak bisa lagi menjadi tenaga kesehatan. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Konstitusi, khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2). (Lulu Hanifah)