Kepala Bidang Penelitian, Pengkajian Perkara dan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi (MK), Wiryanto menerima kunjungan 101 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Kamis (16/4) siang di aula gedung MK. Mengawali pertemuan, Wiryanto memberikan penjelasan seputar wewenang maupun kewajiban MK.
Wiryanto menerangkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Selain itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. Seperti disebutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945,” ujar Wiryanto yang didampingi Juariah SH.MH. selaku Kepala Program Studi FH Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Wiryanto juga menjelaskan bahwa para hakim konstitusi berjumlah 9 orang, berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA) yang masing-masing terdiri atas tiga orang. Sedangkan syarat menjadi hakim konstitusi, bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Lebih lanjut, Wiryanto mengungkapkan bahwa MK dapat bersifat pasif maupun aktif. Bersifat pasif, artinya MK menunggu perkara-perkara yang akan diuji maupun digugat di MK. Bersifat aktif, artinya MK jika perlu memanggil para ahli untuk menjelaskan pokok-pokok permohonan yang diujikan pemohon sidang di MK.
Masih terkait MK, Wiryanto menguraikan pihak-pihak mana saja yang dapat mengajukan permohonan uji materi ke MK. Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.”
Usai menyampaikan materi, Wiryanto memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan. Salah seorang mahasiswa misalnya menanyakan pengertian isi Pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Wiryanto menanggapi, adanya pasal tersebut dimaknai bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan memang merupakan hak asasi manusia. “Namun kebebasan yang dimaksud tetap ada batasnya, ada aturan-aturannya. Bukan berarti tanpa batas,” tandas Wiryanto. (Nano Tresna Arfana)