Mantan Direktur Jenderal Pelaksanaan Ibadah Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu menyatakan pembatasan pelaksanaan ibadah haji hanya satu kali seumur hidup perlu diberlakukan agar terdapat kepastian hukum.
Anggito yang dihadirkan oleh MK menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang tengah digodok oleh DPR terdapat wacana mengenai perubahan persyaratan menunaikan ibadah haji dengan keterangan pengecualian pada pasal penjelasan.
Sedangkan terkait ketentuan mengenai perlu tidaknya membayar setoran awal BPH, ia berpendapat perjalanan ibadah haji ke Arab Saudi memerlukan biaya perjalanan tidak sedikit. Untuk meringankan beban biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) tersebut, dengan dasar Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasional atau teknis berupa pembayaran setoran awal BPIH. “Jadi menurut kami, setoran awal dimaksudkan untuk meringankan beban jamaah haji yang akan berangkat dengan cara mencicil,” ujarnya pada sidang lanjutan perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (15/4).
Setoran awal tersebut disimpan pada rekening Menteri Agama di Bank Syariat dengan maksud untuk menjaga tingkat keamanan, jaminan, dan tanggung jawab, serta memberikan nilai manfaat kepada jamaah. Setoran itu, lanjutnya, tidak diambil alih kepemilikannya, tetapi dititipkan atau diwakilkan kepada Menteri Agama dengan akad wakalah. Selanjutnya, dana itu akan dikelola melalui manajemen syariah, profesional, amanah, serta nirlaba.
Dia menegaskan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji telah mengatur masalah kepemilikan dana dan pengelolaan dana haji. Nilai manfaat BPIH jamaah tunggu adalah milik jamaah dan diwakilkan kepada BPIH atau Badan Pengelola Keuangan Haji. “Setoran awal tersebut dimaksudkan juga akan memberikan kepastian akan niat seseorang sekaligus menunjukan indikator kemampuan keuangan atau istitoah dari jemaat calon haji,” jelasnya.
Anggito juga memaparkan hasil penelitian Dirjen PHU bekerja sama dengan FEB UIN Syarif Hidayatullah tahun 2014. Menurut penilitian tersebut, setoran awal dapat mengurangi antrean haji. Apabila jemaat tidak diwajibkan setoran awal BPIH, maka antrean haji akan menjadi lebih panjang lagi. Dengan antrean setoran awal atau DP saat ini rata-rata mencapat 14 tahun, namun tanpa setoran awal diperkirakan antrean akan menjadi 20 tahun. “Hal tersebut tentu tidak dikehendaki oleh calon jemaat haji, termasuk oleh Pemohon,” imbuhnya.
Perlu Setoran BPIH
Senada dengan keterangan tersebut, pakar hukum keuangan negara Siswo Sujanto menuturkan pemerintah perlu mengatur calon jamaah haji yang dapat diberangkatkan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan kewajiban pembayaran sebagian biaya ibadah haji. “Pengaturan ditempuh antara lain dengan cara mewajibkan seluruh calon jamaah haji untuk melakukan pembayaran sebagai biaya ibadah haji,” ujarnya.
Dengan kata lain, ia menegaskan, Pemerintah tidak pernah dengan sewenang-wenang mengambil hak masyarakat melainkan hal tersebut dilakukan demi keadilan dan ketertiban masyarakat. “Dalam hal ini masyarakat bebas untuk tidak membayar setoran awal BPIH dengan konsekuensi bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi untuk dimasukkan dalam daftar tunggu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, terkait dengan pengelolaan dana haji, kemudian dibentuk Badan Pengelola Keuangan Haji sebagai sebuah institusi pengelola keuangan Negara. Badan tersebut bersifat independen dan nirlaba dengan mengacu pada sikap korporatif berdasarkan prinsip syariat Islam. “Tujuan yang diharapkan dari pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji adalah untuk memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jamaah dan umat Islam secara kaffah,” jelasnya.
Manfaat yang diterima oleh masing-masing calon jamaah dari pengelolaan dana secara kolektif akan lebih besar dibandingkan hasil pengelolaan dana sendiri. Sementara itu, sebagai anggota suatu kelompok, semua anggota yang akan memperoleh manfaat dari hasil kerja institusi dalam kelompok tersebut berkewajiban membiayai kegiatan tersebut. Hal itu, ditekankannya merupakan sebuah kewajaran.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan sejumlah pasal dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Adapun Pasal 4 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan:
“Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat: a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan b. mampu membayar BPIH”
Menurutnya, aturan tersebut menjadi inkonstitusional bersyarat karena menyatakan setiap muslim dapat menjalankan ibadah haji lebih dari satu kali. Padahal masalah haji saat ini yang menjadi perhatian umum adalah soal kuota yang sangat terbatas. “Seorang calon jemaah haji harus membayar setoran awal atau apa pun sebutannya terlebih dahulu, padahal pelaksanaan ibadah haji masih sekitar 20 sampai 25 tahun lagi,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (27/1).
Dia menilai, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo harus dimaknai khusus untuk orang Islam yang belum pernah haji saja yang boleh haji, sedangkan yang sudah pernah haji tidak boleh haji apabila masih terdapat daftar haji tunggu atau waiting list. “Kenapa demikian? Karena dalam agama Islam ini kewajiban haji itu hanya sekali, al hajju maratun fama zaadaz fahuwa tathawwu, haji itu sekali, selebihnya adalah sunah,” imbuhnya.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan masalah setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat calon jemaah mendaftar haji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pemohon menilai pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan, seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan.
“Berarti di sini kami anggap bahwa yang diharuskan dibayar oleh calon jemaah haji adalah BPIH tahun berjalan, bukan setoran awal BPIH. Kalau setoran awal BPIH itu sifatnya tidak boleh memaksa dan harus sukarela. Untuk mendaftar itu tidak ada kaitannya dengan setoran awal BPIH karena pada dasarnya mendaftar haji daftar tunggu itu hanyalah seperti mengambil nomor urut antrean saja,” jelasnya. (Lulu Hanifah)