Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa segala undang-undang yang mengabaikan atau merugikan, baik aspek lingkungan hidup maupun aspek sosial budaya, tidaklah dapat dibenarkan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MK ketika menjadi keynote speaker dalam seminar berjudul “Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia” pada Rabu (15/4) di Universitas Diponegoro Semarang.
Dalam kesempatan itu, Anwar menyampaikan apresiasinya terhadap penyelenggaraan seminar tersebut karena diselenggarakan dalam rangka merefleksi kembali pengelolaan sumber daya alam, yang diarahkan sejalan dan menuju pada cita hukum Indonesia. “Selain sebagai ajang bertukar gagasan, seminar ini juga untuk menemukan sekaligus mendekatkan paradigma pengelolaan lingkungan dan sumber daya manusia, sesuai dengan jati diri pendirian negara hukum Indonesia, paparnya dalam seminar yang dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Undip Yos Johan Utama.
Dalam makalah yang berjudul “Kebijakan Politik Hukum Lingkungan”, Anwar mengemukakan beberapa putusan MK yang menunjukkan keberpihakan MK terhadap lingkungan. Menurut Anwar, banyak putusan MK yang melindungi lingkungan serta hak masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Ia menyebut misalnya putusan dalam pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang diputus pada awal Mahkamah Konstitusi didirikan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah meletakkan dasar mengenai makna \"dikuasai oleh negara\". “Tujuannya, agar pembangunan, tidak semata antroposentris, dengan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial budaya,” ujarnya.
Anwar menjelaskan beberapa putusan MK, di antaranya putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, MK membatalkan ketentuan-ketentuan yang dianggap menguntungkan pengusaha atau perusahaan perkebunan, tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat atas tanah. Demikian pula, lanjut Anwar, melalui putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dalam Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, MK membatalkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang potensial mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat adat yang bersifat turun temurun.
“Masih banyak putusan Mahkamah Konstitusi sebagai contoh dalam pembahasan ini, namun tidak mungkin disebutkan satu per satu. Hal terpenting yang ingin saya kemukakan, konsistensi mengawal politik hukum lingkungan sebagaimana digariskan UUD 1945 telah nyata dibuktikan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan seiring dengan itu, saya meyakini, semangat dan pandangan serupa harus dan akan terus dilanjutkan oleh Mahkamah Konstitusi di masa mendatang,” tandasnya. (Agung Sumarna/Lulu Anjarsari)