Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas YARSI berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, (15/4). Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso.
Pada kesempatan tersebut, Fajar mengatakan, pada dasarnya pemilukada itu menyangkut soal kepentingan politik praktis. Seseorang yang mau berkuasa akan menempuh dengan segala cara. “Itulah yang terjadi, yang kata orang bahwa berperkara di MK butuh biaya besar, ya seperti itu. Biaya transportasi, bayar pengacara, akomodasi dan sebagainya,” jelas Fajar yang didampingi Kukuh Fadli Prasetyo sebagai Wakil Dekan I FH Universitas Yarsi Jakarta.
“Calon-calon kepala daerah di Papua yang mau berperkara di MK bisa mengerahkan puluhan saksi, 30 saksi sampai 50 saksi. Bagaimana tidak mahal? Mereka dibiayai untuk bisa ke Jakarta, belum lagi bayar honornya, akomodasi hotel dan sebagainya,” tambah Fajar.
Padahal, lanjut Fajar, secara ketentuan bahwa berperkara di MK tidak dipungut bayaran satu rupiah pun karena semuanya ditanggung oleh APBN. Ke depan MK sedang mempersiapkan gugus tugas terkait pelaksanaan pemilukada, baik di level hakim maupun pegawai.
“Kita akan mempersiapkan segalanya, terutama instrumen yang menjamin integritas, tidak ada yang ‘bermain-main’ lagi,” tandas Fajar kepada 70 mahasiswa yang hadir.
Dalam sesi tanya jawab, mahasiswa lainnya juga menanyakan hal terkait putusan MK mengenai pemilu serentak. “Karena pemilu dilaksanakan secara serentak, maka tidak ada lagi Presidential Threshold. Di banyak negara, terutama di Brasil bisa menciptakan sinergi antara partai pemenang di parlemen dengan presiden terpilih,” ujar Fajar.
“Jadi ada linier antara presiden di satu sisi, dengan dukungan yang signifikan di parlemen. Tidak ada lagi anomali-anomali yang bisa menghambat aktivitas presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Ini yang kemudian kita kaji sebelum membuat putusan MK,” kata Fajar.
“Menurut MK, sangat tidak mungkin kalau pemilu serentak itu diberlakukan pada 2014 karena tahapan pemilu sudah berjalan dengan paradigma yang terpisah. Diperlukan undang-undang, pedoman-pedoman teknis yang lain yang harus diubah, disesuaikan. Oleh karena itu, MK menyatakan pemilu tidak serentak inkonstitusional. Pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019,” imbuh Fajar.
Pada pertemuan itu, Fajar juga menerangkan bahwa MK memiliki kewenangan utama melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. (Nano Tresna Arfana)