Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan) dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (14/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 29/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Perhubungan, Sigit Sudarmaji. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya pengaturan dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b dan Pasal 118 ayat (2) undang-undang a quo.
Pada sidang kali ini, Presiden diwakili Mualimin Abdi menyatakan bahwa Pemohon tidak secara tegas menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami atas berlakunya undang-undang a quo. Selain itu, lanjut Mualimin, Pemohon juga tidak secara jelas dan tegas dalam mencantumkan dasar hukum yang dijadikan batu uji dalam permohonannnya. “Pemohon juga di dalam mencantumkan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, juga tidak jelas, tidak tegas, di mana dengan perkataan lain bahwa menurut Pemerintah, baik undang-undang yang diuji maupun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sebagai batu ujinya adalah tidak tepat dan hanya asumsi-asumsi semata,” papar Mualimin, selaku Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham.
Lebih lanjut, Mualimin mempertanyakan status Pemohon yang merupakan seorang PNS. Menurutnya, karena kedudukan Pemohon adalah PNS, maka tidak tepat jika undang-undang a quo dinyatakan diskriminatif terhadapnya. ”Oleh karena itu, menurut hemat kami, terkait dengan kedudukan Pemohon sebagai PNS maka tidak tepat kalau Undang-Undang Penerbangan ini dikatakan telah memperlakukan secara diskriminatif,” urai Mualimin.
Mualimin juga menyatakan pemerintah tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan terdapat diskriminasi terhadap usaha penerbangan jika dibandingkan dengan moda transportasi lain. Selain itu, juga dinyatakan bahwa undang-undang a quo pada dasarnya memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha yang ingin berusaha di bidang penerbangan. Kesempatan ini pun disesuaikan dengan kemampuan kepemilikan pesawat. Menurut Mualimin, jika Pemohon hanya memiliki dua pesawat, undang-undang a quo tetap memberikan peluang, yakni di kategori angkutan udara niaga tidak berjadwal.
“Misalnya Pemohon bisa beli pesawat dua, Yang Mulia, dia bekerja sama dengan sebuah perusahaan maka Pemohon bisa berkontrak untuk dicarter pesawatnya untuk mengangkut dari dan tujuan daerahnya Pemohon itu sendiri, tapi tidak dalam rangka untuk penerbangan yang berjadwal karena itu mengikuti regulasi dan aturan yang memang ketat diatur oleh yang memiliki kewenangan untuk itu,” ucap Mualimin.
Selanjutnya, Mualimin memberikan kesimpulan bahwa undang-undang a quo tidak memperlakukan setiap orang secara diskriminatif bagi yang ingin berusaha di bidang penerbangan. Mualimin juga menyatakan bahwa perusahaan penerbangan memiliki karakteristik dan spesifikasi yang berbeda dengan moda transportasi lainnya. Selain itu, Mualimin juga berpandangan bahwa ketentuan yang menyatakan kewajiban untuk memiliki paling sedikit 5 unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 unit pesawat udara adalah kebijakan hukum terbuka dan terkait langsung dengan kewenangan pembentuk undang-undang.
“Ketentuan tentang jumlah pesawat yang dioperasikan, 5 pesawat dimiliki dan 5 pesawat dikuasai, menurut pemerintah ini terkait dengan open legal policy, yang terkait langsung dengan kewenangan pembentuk undang-undang, yang dalam hal ini DPR bersama Presiden,” kata Mualimin.
Setelah mendengar keterangan itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menanyakan tentang adanya indikasi-indikasi sebagaimana disebutkan dalam posita permohonan Pemohon. Berdasarkan posita permohonan, ketentuan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) undang-undang a quo akan mengantarkan dunia penerbangan ke dalam era kegelapan. Salah satu indikasinya adalah tidak ada perusahaan baru yang muncul dalam bidang penerbangan nasional.
“Nah, ini mungkin perlu dijawab terlepas apakah nanti ini menjadi bagian dari ketentuan kita, tapi apa yang disampaikan ini disebutkan indikasinya. Indikasinya tidak adanya perusahaan penerbangan nasional yang baru muncul. Ditutupnya perusahaan-perusahaan nasional yang sudah ada namun tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut. Matinya perusahaan nasional yang sudah ada karena memaksakan pemenuhan ketentuan tersebut,” papar Wahiduddin.
Menjawab pertanyaan itu, Mualimin menyatakan bahwa pada nantinya pemerintah akan menjawabnya dengan data. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan secara rinci dampak undang-undang a quo terhadap usaha penerbangan. ”Nanti kami akan sampaikan secara data, karena banyak hal yang memang kita mesti sampaikan atau Pemerintah sampaikan secara rinci menggunakan data,” kata Mualimin.
Kemudian Ketua MK Arief Hidayat menanyakan tentang ketentuan-ketentuan internasional yang diadopsi dalam hal mendirikan perusahaan penerbangan. Selain itu, Arief Juga menanyakan tentang pengaturan standar pendirian perusahaan penerbangan di negara lain. “Coba dijelaskan juga benchmark dengan peraturan yang sejenis untuk bisa mendirikan perusahaan penerbangan yang berlaku di negara lain. Itu substansi yang juga menurut saya cukup penting untuk diketahui oleh Majelis dalam rangka membahas substansinya,” tutur Arief. Menjawab pertanyaan itu, Mualimin menyatakan bahwa nanti akan menghadirkan ahli untuk menjawab pertanyaan Ketua MK tersebut. (Triya IR)