Para pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa banyak kelemahan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu di antaranya, UUD 1945 memberikan celah untuk membentuk negara yang otoriter. Seperti dialami Presiden Soekarno yang memerintah selama 25 tahun hingga Presiden Soeharto yang memerintah selama 32 tahun.
“Oleh karena itu, ada beberapa upaya untuk mengubah UUD 1945 menjadi lebih sempurna. Pasca reformasi politik tahun 1998, salah satu tuntutannya adalah melakukan amandemen UUD 1945,” kata Peneliti MK, Irfan Nur Rachman saat menerima kunjungan para pelajar SMA Kristen (SMAK) Penabur Harapan Indah Bekasi pada Selasa (14/4) siang ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikatakan Irfan, pada 1999-2002 dilakukan amandemen UUD 1945. “UUD 1945 pasca perubahan menutup peluang lahirnya negara yang otoriter dengan membatasi masa jabatan Presiden. Pasca amandemen UUD 1945, kita menempatkan diri dalam supremasi konstitusi yang merupakan ciri negara demokrasi yang modern,” jelas Irfan kepada para pelajar.
Irfan melanjutkan, pasca amandemen UUD 1945 banyak lembaga negara baru yang lahir untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan di Indonesia. “Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lahir karena adanya pergolakan politik yang luar biasa hingga membawa perubahan politik di Indonesia,” ujar Irfan.
“Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lahir sebagai penyeimbang kekuasaan pembentuk undang-undang. Jika ada undang-undang yang merugikan hak konstitusional warga negara, maka undang-undang tersebut dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi,” tambah Irfan.
Pada pertemuan itu Irfan juga menerangkan sejarah lahirnya MK di dunia. Bermula dari kasus Marbury vs Madison (1801) mengenai perseteruan antara Presiden John Adams dan Presiden Thomas Jefferson. Bahwa produk kongres yang dibuat oleh The House of Representative dengan Senat Amerika Serikat, kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung Amerika Serik
Selanjutnya, Irfan menuturkan munculnya gagasan awal pengujian undang-undang di Indonesia sejak masa perjuangan. Kala itu Mohammad Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang (UU). Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Selain itu pada masa itu belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman membanding undang-undang.
Bertahun-tahun kemudian, sekitar tahun 1970-an terdapat usulan Ikatan Sarjana Hukum agar Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji UU. Tetapi usul tersebut belum bisa terwujudkan. Barulah pada era reformasi, terjadi amandemen UUD 1945, soal pengujian UU kembali diusulkan. Hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Terkait pengujian UU disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Disinggungnya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pasal tersebut, dipertegas lagi pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Sedangkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.” (Nano Tresna Arfana)