Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Pasal 158 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli pemohon.
Deputi Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi menuturkan penataan ulang terhadap daerah pemilihan sangat dimungkinkan apabila terjadi pemekaran daerah kabupaten/kota yang baru. Namun, menurutnya, penentuan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan daerah pemilihan di kabupaten dan kota baru dilakukan untuk pemilu berikutnya. “Artinya proses penataan daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan baru tidak dilakukan serta merta setelah pemilihan umum berakhir,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 7/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (9/4).
Ketentuan tersebut, jelas Veri, telah diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU tersebut telah mengatur secara tegas bahwa penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan daerah pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan pada pemilu berikutnya. Dengan demikian, Keputusan KPU Nomor 98/Kpts/KPU Tahun 2013 tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPRD Kabupaten/Kota Dalam Pemilu Tahun 2014 Untuk Memilih Wilayah Muara Enim, harus diberlakukan pada pelaksanaan pemilu 2019.
“Sehingga, alokasi kursi Kabupaten Muara Enim atau daerah induk pada pemilu tahun 2014 tetap mendasarkan pada jumlah penduduk sebesar 735.000 ribu jiwa dengan daerah pemilihan sejumlah lima daerah pemilihan dengan total 45 kursi DPRD yang sekarang berlaku,” jelasnya.
Jumlah kursi di lima daerah pemilihan itu, imbuhnya, digunakan sebagai rujukan untuk penentuan bilangan pembagi pemilih (BPP), dengan cara membagi jumlah suara sah dengan jumlah kursi setiap daerah pemilihan. Dalam konteks penyusunan BPP di Kabupaten Muara Enim, dilakukan dengan mengikutkan lima daerah pemilihan termasuk Dapil II yang merupakan daerah baru (Kabupaten Pali). “Berarti tidak ada penataan dan penghitungan BPP baru,” tegasnya.
Veri mengatakan, mekanisme alokasi kursi tersebut telah ditetapkan secara tegas dalam UU Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Aturan tersebut merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang sistem pemilu, salah satunya terkait dengan
sistem alokasi kursi. Oleh karena itu, lanjutnya, UU Pemerintahan Daerah hendaknya merujuk pada mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
Mekanisme dan tata cara pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di daerah induk dan daerah baru setelah pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), harusnya
disesuaikan dan tetap merujuk pada ketentuan yang berlaku dalam UU Pemilu, khususnya Pasal 29 ayat (4). “Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum yang adil,” imbuhnya.
Dengan pemberlakukan penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi seperti semula, alokasi kursi setiap partai politik juga anggota DPRD yang berhak menduduki kursi tersebut mestinya tidak mengalami perubahan dari mekanisme alokasi kursi yang ada. Berdasarkan mekanisme alokasi kursi yang berlaku pada Pemilu, ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Pemda mestinya diberlakukan untuk ke depan, bukan pada Pemilu 2014.
Hal itu sejalan dengan Putusan MK Nomor 124/PUUVII/2009 yang menyatakan, pengisian keanggotaan DPRD tidak dilakukan dengan membentuk dapil dan BPP baru sebagaimana dilakukan oleh Pihak Terkait (KPU), pembentukan dapil baru demikian bertentangan dengan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Kesenjangan Keterwakilan
Sedangkan Pengamat Pemilu Universitas Diponegoro Hasyim Asyari mengatakan Pemilu 2014 lalu digelar untuk memilih anggota DPRD Kabupaten Muara Enim, bukan Kabupaten Pali. Sementara di Kabupaten Pali tidak terjadi pemilu karena saat Pemilu berlangsung daerah tersebut masih menjadi bagian dari Kabupaten Muara Enim.
Hasyim melanjutkan, setelah Pemilu 2014 dibentuk DPRD Kabupaten Pali dengan cara mengalokasikan kursi di Kabupaten Pali. Penentuan alokasi kursi tersebut mendasarkan pada jumlah penduduk yang semula adalah penduduk Kabupaten Muara Enim daerah pemilihan 2 yang kemudian menjadi wilayah Kabupaten Pali. Awalnya, jumlah kursi untuk daerah pemilihan tersebut hanya 10 kursi, tetapi setelah menjadi daerah pemekaran dengan jumlah penduduknya sama, jumlah kursinya menjadi 25 kursi. Perubahan alokasi kursi tersebut, Hasyim menilai telah menimbulkan kesenjangan dalam persoalan keterwakilan (representativeness).
“Ini jadi pertanyaan dari segi keterwakilan dan segi kesetaraan dari jumlah penduduk yang diwakili. Jumlah penduduk yang sama, cakupan wilayahnya sama, mengapa
kemudian kursinya menjadi 25, semula 10?” gugat Hasyim.
Lebih lanjut, Hasyim berpendapat mekanisme yang diatur dalam UU Pemda membuat seolah-olah ada pemilu di Kabupaten Pali, padahal sebenarnya tidak. Seharusnya, pengisian Anggota DPRD Kabupatan Pali bukan menggunakan hasil Pemilu 2014, tetapi menggunakan hasil pemilu berikutnya setelah Pemilu 2014 karena Konstitusi menyebutkan cara untuk mengisi anggota DPRD adalah dengan pemilu. “Sementara pembentukan DPRD Kabupaten Pali pengisian jabatannya tidak menggunakan hasil pemilu,” tegasnya.
Dia menjelaskan, salah satu asas dalam pemilu adalah asas langsung, yaitu rakyat memilih langsung dan menentukan suaranya kepada siapa. Dalam konteks pemilu di Kabupaten Muara Enim, masyarakat memilih calon wakil rakyat untuk mengisi jabatan Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim. Apabila hasil suara Pemilu 2014 dikonversi untuk mengisi jabatan anggota DPRD di Kabupaten Pali, sesungguhnya tidak memenuhi
asas sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi. “Sehingga, dalam konteks pengisian Anggota DPRD Kabupaten Pali, semestinya itu nanti pada pemilu setelah Pemilu 2014,” tandasnya. (Lulu Hanifah)