Memasuki sidang kelima, Pemohon Pengujian Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PUU PPTKILN) kembali menghadirkan ahli untuk memperkuat dalilnya. Pada sidang yang digelar Rabu (8/4) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), dua orang ahli yang merupakan kapten pelaut yaitu Rudy Agus Kumesan dan Samuel Bonaparte Hutapea menyampaikan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) tidak dapat dijadikan buku pelaut atau Seafarers Identity Dokument (SID) sebagai identitas pelaut yang berlaku secara internasional.
Mengawali paparan keahliannya, Rudy Agus Kumesan menyampaikan International Maritime Organization (IMO) merupakan oganisasi maritim internasiona yang berada di bawah PBB. IMO bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan pelayaran, serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan maritim. Indonesia merupakan salah satu negara anggota IMO dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan sebagai administrator IMO di Indonesia.
IMO mempunyai konvensi atau kesepakatan yang mengatur persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh operator kapal maupun seafarers (pelaut) yang tertuang antara lain dalam Standards of Training dan Certification and Watch Keeping for Seafarers. Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi tersebut melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Sertifikasi, serta Dinas Jaga Laut. Pemerintah juga telah mengatur dan menetapkan persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh TKI yang ingin bekerja di atas kapal sebagai pelaut.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi TKI yang ingin menjadi pelaut, yaitu memiliki Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). Hal tersebut disyaratkan oleh Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKILN. Selain itu, Pasal 77 UU PPTKILN mengatur bahwa tiap pelaut Indonesia selaku TKI wajib memiliki dokumen identitas pelaut yang merupakan bentuk lain dari KTKLN yang disamakan dengan buku pelaut atau Seafarers Identity Dokument (SID). Namun, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan selaku administrator IMO di Indonesia justru menerbitkan juga surat edaran yang tidak mempersyaratkan kepemilikan KTKLN bagi pelaut atau awak kapal.
Fakta-fakta tersebut menurut Kumesan telah membingungkan para pelaut atau awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal asing. “Dengan adanya kebijakan yang bertolak belakang antara BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, serta kebingungan bagi pelaut,” ujar Kumesan.
Masih terkait dengan KTKLN, Kumesan berpendapat KTKLN tidak tepat dijadikan sebagai identitas pelaut atau seaman book. Sebab, KTKLN tidak dapat mendeteksi keberadaan pelaut yang berada di atas kapal laut yang berpindah secara dinamis dari satu negara ke negara lain. Terlebih, saat pergantian kru kapal yang bersandar di pelabuhan Indonesia justru tidak pernah dimintai KTKLN meski kapal tersebut merupakan kapal berbendera asing.
Sementara itu mantan kapten kapal yang saat ini menjadi konsultan hukum maritim, Samuel Bonaparte Hutapea juga menyampaikan keahliannya terkait dokumen identitas pelaut. Berdasarkan hukum internasional dan hukum Indonesia, pelaut seharusnya memiliki satu dokumen yang berisi tentang tempat bekerja, asal kapal, tempat turun dari kapal dan sebagainya. Kewajiban pelaut memiliki satu kartu identitas juga dimaksudkan sebagai pengamanan bagi diri pelaut maupun bagi negara yang disinggahi agar terhindar dari kemungkinan disusupi teroris.
Meski demikian, Hatapea mengatakan sesungguhnya buku pelaut (SID) dan kartu identitas pelaut (KTKLN, red) merupakan dua hal yang berbeda. Pada praktiknya, lanjut Hutapea, meski pelaut sudah memiliki KTKLN namun ada saja yang tidak bisa diberangkatkan untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri. “Kalau bicara undang-undang internasional dan nasional, dokumen pelaut adalah buku pelaut, tidak ada yang lain. Baik pelaut kita di luar negeri, maupun pelaut negara manapun di bumi masuk ke Indonesia. Pada saat kapalnya masuk, kita akan buat port clearance, kita akan buat izin bagi kapal tersebut masuk atau nantinya keluar, dimintakan persyaratan termasuk tadi, buku pelaut tadi sebagai komponen para krunya, tidak ada dokumen lain yang diminta untuk hal itu,” ujar Hutapea. (Yusti Nurul Agustin)