Sebanyak 150 mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung mengunjungi Mahkamah Konstitusi. Kunjungan mereka disambut oleh Panitera Muda MK Muhidin di aula lantai dasar Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/4).
Dalam paparannya di hadapan mahasiswa berjaket almamater biru gelap, Muhidin menyinggung soal tiga hal krusial yang dihadapi MK, baik MK Indonesia maupun MK negara lain. “Ketua MK periode lalu menyampaikan ada tiga sisi krusial yang dihadapi MK. Pertama, rekrutmen hakimnya,” ujarnya.
Sesuai Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, sembilan hakim konstitusi ditetapkan oleh tiga unsur, yakni tiga orang dipilih oleh Presiden, tiga orang dipilih oleh DPR, dan tiga orang dipilih oleh Mahkamah Agung. “MK tidak bisa turut campur dalam rekrutmen tersebut, MK hanya menerima saja,” imbuhnya.
Kedua, sambung Muhidin, dalam hal pengambilan putusan. Hal tersebut dinilai berat karena sebagian besar kasus yang diuji di MK adalah isu-isu strategis yang berkaitan dengan politik, tata negara, hukum, ekonomi, dan sebagainya yangakan berdampak sangat luas. “MK bisa membatalkan undang-undang, produk dari DPR yang terdiri dari 560 orang, dibatalkan oleh 9 orang. Begitu hebatnya MK,” ungkapnya.
Adapun hal krusial ketiga terjadi saat MK sudah memutus perkara. Bagaimana pihak-pihak terkait mengimplementasikan putusan tersebut. Ia mencontohkan UU Advokat yang sudah diputus oleh MK, namun belum diimplementasikan. “Banyak surat-surat yang masuk menanyakan bagaimana sih putusan MK ini? Kok tidak dilaksanakan oleh lembaga terkait?”
Contoh lainnya adalah putusan terkait peran serta Dewan Perwakilan Daerah dalam proses pembentukan UU yang tertuang dalam UU MD3. Sampai saat ini, imbuhnya, praktik atau pelaksanaan putusan tersebut masih tidak sesuai, padahal putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang lain, sehingga sifat putusan MK bersifat final and binding.
“Kalau itu terkait pengujian undang-undang, maka putusan MK juga bersifat erga omnes (mengikat untuk umum). Boleh saja yang menguji UU satu orang, tapi ketika MK menyatakan UU tersebut tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD, yang menikmati putusan itu bukan hanya pemohon tapi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Meyakinkan dengan Putusan
Menanggapi pertanyaan dari salah satu mahasiswi soal mengembalikan kepercayaan masyarakat pasca kasus Akil Mochtar dua tahun silam, Muhidin menjawab cara yang utama adalah melalui putusan MK. Putusan merupakan mahkota bagi MK dan harus diputus sesuai dengan frasa dalam putusannya, yaitu Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Apabila masyarakat merasa putusan MK benar-benar menjunjung tinggi keadilan, dengan sendirinya masyarakat akan percaya lagi,” ujarnya.
Dengan jalan tersebut, MK akan mewujudkan perannya sebagai sebenar-benarnya lembaga peradilan. Ketika MK berhasil menangani 903 perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dengan prinsip akuntabilitas, masyarakat pun dengan sendirinya percaya keseriusan MK dalam menangani perkara.
Namun demikian, upaya-upaya pengembalian muruah MK memerlukan waktu yang tidak cepat. Ole karena itu, MK melakukan berbagai cara, termasuk menjalin kerja sama dalam dan luar negeri. “Melalui mekanisme itu, para mitra MK bisa menyaksikan secara lebih konkrit dan riil bagaimana sosok MK yang sebenarnya,” tandasnya. (Lulu Hanifah)