Kuliah bersama empat perguruan tinggi negeri seputar konstitusi diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/4) siang. Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia hadir secara langsung ke MK yang diterima oleh Peneliti MK, Abdul Ghoffar. Sementara para mahasiswa FH Universitas Diponegoro, FH Universitas Airlangga, dan FH Universitas Jember menerima materi kuliah melalui video conference.
Pada kesempatan itu, Abdul Ghoffar menjelaskan pengertian mengenai constitutional complaint. “Belum ada satu aturan umum pun yang menerjemahkan secara resmi pengertian constitutional complaint. Ada yang menerjemahkan itu adalah gugatan konstitusional. Ada yang menerjemahkan itu adalah permohonan konstitusional, ada juga yang menerjemahkan itu sebagai pengaduan konstitusional,” urai Ghoffar kepada para mahasiswa.
“Misalnya kalau kita terjemahkan constitutional complaint sebagai pengaduan konstitusional, sebenarnya apa pengaduan konstitusional itu? Secara sederhana yang dikatakan constitutional complaint itu adalah pengaduan konstitusional yang diajukan oleh perorangan wakil negara kepada sebuah lembaga peradilan,” jelas Ghoffar.
Dalam praktiknya, ungkap Ghoffar, pengaduan tersebut bermacam-macam. Seperti di Jerman, pengaduan konstitusional sampai mencakup pada hal-hal yang terkait dengan putusan pengadilan. Misalnya Mahkamah Agung di Jerman membuat satu putusan, hal ini bisa diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.
“Semua hal yang terkait dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara di beberapa negara bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Tak heran setiap tahun di MK Jerman perkara bisa mencapai 20.000 perkara. Bandingkan dengan perkara yang ditangani MK Indonesia yang hanya sekitar 1.000 perkara per tahun,” papar Ghoffar.
Ghoffar membandingkan model seperti di Amerika Serikat, orang tidak datang ke pengadilan dengan kasus pengaduan konstitusional, tetapi dia hadir dalam bentuk kasus yang lain. Misalnya, dalam kasus perbedaan warna kulit maupun kasus pajak. “Hadirnya bukan dalam wujud constitutional complaint. Tapi dia masuk sebagai kasus yang kemudian kalau dilihat ternyata ada model constitutional complaint, langsung dieksekusi,” imbuh Ghoffar.
“Hal berbeda seperti di Korea Selatan, yang boleh maju adalah komunitas-komunitas tertentu. Misalnya kewenangan MK Korea Selatan itu diperluas,” tambah Ghoffar.
Ghoffar melanjutkan, sedikitnya ada dua model pengadilan di dunia. Pertama adalah model Amerika, kewenangan melakukan uji materi undang-undang termasuk di dalamnya constitutional complaint tidak dipecah-pecah, utuh.
“Kekuasaan Mahkamah Agung sama besar atau bahkan lebih besar dari kewenangan-kewenangan yang lain. Kenapa? Hampir seluruh persoalan di Amerika bisa diajukan ke Mahkamah Agung,” jelas Ghoffar.
Kedua adalah model Eropa. Rata-rata model di Eropa adalah model Mahkamah Konstitusi yang disentralistikkan, Jerman misalnya. “Hampir semua persoalan di Jerman bisa ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Bedanya, kalau di Jerman ditulis di konstitusinya. Sedangkan di Amerika memperluas dirinya,” ujar Ghoffar.
Dikatakan Ghoffar, perjuangan untuk membuat Mahkamah Konstitusi menjadi lebih survive memang tidak mudah. Karena secara teorinya, lembaga peradilan tidak memiliki ‘senjata dan uang’.
“Putusan lembaga peradilan itu tidak bisa dilaksanakan oleh lembaga peradilan itu sendiri kalau tidak dibantu oleh cabang kekuasaan yang lain. Tak heran, Mahkamah Konstitusi di beberapa negara dibubarkan. Thailand misalnya, padahal kiprah MK Thailand luar biasa,” tandas Ghoffar. (Nano Tresna Arfana)