Sebanyak 150 mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Yogyakarta, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/4) pagi, di Aula Lantai Dasar Gedung MK. Kunjungan ini dalam rangka melaksanakan mata kuliah Praktik Hukum Lapangan (PHL) untuk mahasiswa semester 4. Setibanya di aula, kedatangan mereka disambut oleh Syukri Asyari, peneliti di Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) MK, yang kemudian mengisi kegiatan dengan diskusi.
Dalam kegiatan diskusi, salah satu mahasiswa, Tri Susanto memberikan pertanyaan tentang adanya hakim konstitusi yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Tri, hakim konstitusi yang berasal dari DPR identik dengan partai politk. Ketika hakim itu berasal dari partai politik, lanjut Tri, maka akan terdapat stigma sosial bahwa itu negatif.
Menjawab pertanyaan itu, Syukri menyatakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MK, maka pencalonan hakim konstitusi dilakukan secara transparan dan partisipatif, yang kemudian mekanismenya diatur lebih lanjut oleh lembaga pengusul. Lebih lanjut, Sukri juga menyatakan bahwa sebelumnya terdapat peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mensyaratkan calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 tahun. Tetapi kemudian, lanjut Sukri, ketentuan tersebut dibatalkan oleh MK karena bersifat diskriminatif terhadap warga negara yang akan mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi.
“Artinya ketika warga negara biasa tidak dikenai (syarat) seperti itu, tetapi anggota DPR harus (memenuhi persyaratan) seperti itu, maka MK menyatakan bahwa ketentuan itu bertentangan dengan UUD. Selain itu, sebenarnya juga tidak ada jaminan ketika hakim yang bukan berasal dari DPR itu, juga berpikiran politis” papar Sukri, didampingi Sri Handayani selaku Dosen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Universitas Janabadra.
Sementara, Sigit seorang mahasiswa lainnya menanyakan tentang mekanisme pembubaran partai politik di mana pemohonnya adalah pemerintah. Lebih lanjut, Sigit menyatakan bahwa ketika hanya pemerintah yang dapat mengajukan permohonan pembubaran partai politik, maka akan terjadi konflik kepentingan. Menurut Sigit, hal ini dikarenakan pemerintah juga berasal dari partai politik.
Menjawab pertanyaan itu, Syukri menyatakan pernah terdapat uji materi terkait dengan norma tentang pemohon pembubaran partai politik yang hanya dari pemerintah. Lebih lanjut, Syukri juga menyatakan bahwa terdapat aturan yang sudah jelas di undang-undang MK, di mana pemohon untuk pembubaran partai politik adalah pemerintah. Ketika sudah terdapat aturan yang jelas, maka menurutnya MK harus mengikuti ketentuan tersebut.
“Ada aturan yang sudah jelas itu secara normatif, bahwa di undang-undang MK itu sudah jelas, kecuali kalau belum diatur. Ketika sudah secara limitatif diatur bahwa itu oleh pemerintah, ya kita harus ikuti bahwa itulah secara formil pemohonnya adalah pemerintah,” urai Syukri.
Sebelum beranjak ke Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 6 Gedung MK, Egan, salah satu mahasiswa menyatakan bahwa dengan adanya kegiatan kunjungan, maka Ia menjadi tahu bagaimana MK sebenarnya. Selain itu, Egan juga menyatakan bahwa jika mata kuliah kuliah tata negara di kelas hanya dalam tataran teori, maka dengan melakukan kunjungan ke MK, Ia juga menjadi tahu praktiknya.
“Materi tata negara di kelas sudah diberikan, tetapi cuma akademis, teori, namun setelah ditanyakan di diskusi ini, kita jadi tau kenyataannya,” papar Egan. (Triya IR).