Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bambang Widjojanto mengajukan pengujian terhadap ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 40/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Selasa (7/4) di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK). Abdul Fickar Hadjar selaku kuasa hukum Pemohon hadir dalam sidang yang dipimpin I Dewa Gede Palguna untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan.
Fickar menyampaikan bahwa Pemohon mengajukan pengujian terhadap norma yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK. Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK menyatakan pimpinan KPK berhenti atau dapat diberhentikan menjadi terdakwa akibat melakukan tindak pidana kejahatan.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut merugikan dirinya yang diberhentikan sebagai pimpinan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, Pemohon yakin penetapan dirinya sebagai tersangka melalui rekayasa kasus yang justru sudah terjadi lima tahun lalu saat ia menangani sengketa Pemilukada di MK.
Selain itu, sesuai amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dalam penetapan tersangka terhadap diri Pemohon seharusnya perlu memerhatikan asa praduga tidak bersalah. Menurut Pemohon asas praduga tidak bersalah merupakan asas hukum yang fundamental. Sayangnya, asas tersebut justru dilanggar oleh Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK. Sebab, pasal a quo tidak menyebutkan secara rinci tindak pidana apa yang mampu membuat pimpinan KPK diberhentikan. Selain itu, pasal a quo juga dinilai tidak menyebutkan waktu terjadinya pelanggaran pidana yang dapat membuat pimpinan KPK diberhentikan.
Tanpa adanya pembatasan yang jelas dan tegas jenis dan waktu terjadinya pelanggaran pidana dimaksud, Pemohon khawatir pimpinan KPK dapat dilumpuhkan dengan alasan melakukan tindak pidana apa pun dan kapan pun meski kasus yang disangkakan sebenarnya biasa saja. Maksudnya, kasus yang disangkakan tidak terkait dengan pengalahgunaan jabatan pimpinan KPK. Pemohon juga khawatir tidak hanya pimpinan KPK yang tidak mendapat perlindungan hukum, namun lembaga KPK juga terancam independensinya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam memberantas korupsi.
“Agar dalam pelaksanaanya tidak rentan atas pelanggaran dan menjadi diskriminatif, maka Pemohon memandang perlu pemaknaan frasa ‘tersangka tindak pidana kejahatan’ dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang KPK dibatasi dengan norma-norma yang lebih jelas agar tidak justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Fickar.
Pemberhentian Sementara
Selain itu, Pemohon juga memasalahkan mengenai norma yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang menyatakan pimpinan KPK bila menjadi tersangka tindak pidana kejahatan harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Kata “sementara” tersebutlah yang dimasalahkan oleh Pemohon. Dalam ringkasan permohonan, Pemohon menyatakan pemberhentian sementara sama saja dengan pemberhentian tetap sampai akhir masa jabatan. Pendapat Pemohon didasari dari fakta mengenai jangka waktu persidangan kejahatan pidana yang memakan waktu sangat lama untuk mencapai kekuatan hukum mengikat. Contohnya seperti yang dialami Pemohon dengan sisa masa tugas hanya 10 bulan dari pemberhentian sementara maka sudah pasti Pemohon tidak akan kembali menduduki jabatannya.
Norma mengenai pemberhentian sementara tersebut juga dinilai diskriminatif oleh Pemohon. Sebab, ketentuan tersebut memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pimpinan KPK dengan pejabat negara yang lain. Khusus untuk Pimpinan KPK, hanya dengan menjadi seorang tersangka sudah cukup untuk diberhentikan dengan sementara. Sementara untuk pejabat negara yang lain, pemberhentian sementara dilakukan setelah ada status terdakwa.
“Hal tersebut tercermin dalam beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang pemberhentian sementara pejabat negara yang tersangkut perkara pidana. Contohnya dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk Hakim Konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun. Demikian juga untuk ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Fickar memberi contoh.
Dengan alasan-alasan tersebut, maka Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah untuk mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak melakukan pelimpahan perkara dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan Pemohon. Selain itu Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 32 ayat (2) UU KPK dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dengan syarat tertentu (inkonstitusional bersyarat). Syaratnya, Pasal a quo harus dimaknai sebagai tindak pidana yang dilakukan terbatas pada melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, perdagangan manusia, dan tindak pidana yang terkait dengan kewenangannya yang dilakukan pada masa jabatan pimpinan KPK.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, panel hakim memberikan saran yang dapat digunakan dalam perbaikan permohonan. I Dewa Gede Palguna selaku ketua panel hakim menyampaikan terjadi ketidaksesuaian penggunaan batu uji. Pada dalil yang menyatakan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK mengancam independensi KPK sebagai lembaga, Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 sebagai batu uji.
Menurut Palguna, penggunaan batu uji itu tidak sesuai dengan dalil yang diajukan. “Anda di sini menekankan pada apanya ini? Kalau Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 itu kan persamaan kedudukan di hadapan hukum dan kepastian hukum. Padahal, yang Anda persoalkan di sini adalah persoalan independensi kan? Anda ini kan mau menekankan kepada persoalan independensi, tetapi pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang Anda pasangkan untuk mendukung uraian itu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1). Coba dipikirkan kembali itu, apakah itu sudah benar kalau Anda memasangkannya ke sana?” saran Palguna yang pada kesempatan itu didampingi Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams selaku anggota panel hakim. (Yusti Nurul Agustin)