Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimohonkan oleh dua perusahaan pemberi kerja, dua perusahaan jasa penyedia layanan kesehatan (perusahaan asuransi), dan dua orang warga negara Indonesia selaku pekerja kembali digelar untuk ketujuh kalinya. Pada sidang kali ini, Pemerintah menghadirkan ahli dan saksi yang menyatakan BPJS kesehatan sangat membantu masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. Pada sidang kali ini juga hadir Direktur Utama (Dirut) BPJS, Fachmi Idris selaku Pihak Terkait.
Mengawali sidang perkara No. 138/PUU-XII/2014, Hasbullah Thabrany yang merupakan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyampaikan paparannya selaku ahli dari pihak Pemerintah. Hasbullah menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan merupakan badan layanan kesehatan yang bersifat monopsoni. Menurut penjelasan Hasbullah, monopsoni diartikan dengan mempunyai kekuatan membeli yang besar, bukan menjual. Oleh karena itu menjadi wajar bila BPJS Kesehatan merupakan satu-satunya badan penyelenggara jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Hasbullah, BPJS Kesehatan hadir untuk menangani kegagalan penyediaan layanan kesehatan di ranah privat (asuransi swasta, red). Penyedia layanan kesehatan di ranah privat tersebut menurut Hasbullah tidak bisa menjamin masyarakat yang sudah mempunyai penyakit tertentu. Misalkan saja, penderita penyakit jantung atau memiliki riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak bisa dilayani oleh penyedia layanan kesehatan di ranah privat seperti asuransi.
Tidak hanya itu, Hasbullah juga menyampaikan penduduk miskin yang tidak mampu membeli jaminan kesehatan dari jasa penyedia layanan kesehatan swasta (asuransi swasta, red) hingga orang-orang lanjut usia juga tidak bisa dijamin oleh penyedia layanan kesehatan di ranah privat. “Hal ini merupakan kegagalan pasar, kegagalan menjamin seluruh penduduk. Di sisi lain, dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pelayanan kesehatan. Dan dalam Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa negara harus mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Seluruh rakyat, artinya orang yang sakit kronis, orang yang miskin, yang tidak mampu, yang tua harus dijamin. Nah, hal ini tidak mungkin dijalankan dalam mekanisme pasar,” jelas Hasbullah.
Biaya Pengobatan Gratis
Keahlian Hasbullah dibenarkan oleh dua saksi yang dihadirkan Pemerintah. Saksi pertama yaitu Chandra Ariati Dewi atau yang lebih dikenal dengan nama Ria Irawan. Artis yang mengidap kanker rahim dan kanker kelenjar getah bening tersebut menjelaskan bahwa pengobatan yang ia tempuh menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Ria Irawan sempat menggunakan asuransi swasta untuk membiayai pengobatannya di berbagai rumah sakit di dalam maupun luar negeri. Namun, setelah pihak asuransi swasta mengetahui penyakit yang diderita oleh Ria Irawan maka pihak asuransi menyatakan tidak dapat menanggungnya.
Akhirnya, Ria Irawan mendaftar program BPJS Kesehatan pada Agustus 2014 sebagai peserta mandiri kelas 1.Setelah mendapatkan kepesertaan BPJS, Ria mengikuti semua persyaratan dan prosedur dalam penggunaan BPJS Kesehatan hingga pada 30 September 2014 dilakukan pengangkatan rahim. Sampai proses kemoterapi yang harus ia lakukan, Ria Irawan mengaku tidak mengeluarkan uang sepeserpun setelah menggunakan BPJS Kesehatan.
Hal yang sama juga disampaikan saksi pemerintah Yani Hanifah. Ia menyatakan BPJS Kesehatan telah membantunya dalam pembiayaan pengobatan putranya yang menderita hemofilia. Sebelum mengikuti keanggotaan BPJS Kesehatan, Yani mengatakan menggunakan fasilitas Jamkesmas. Untuk mendapatkan Jamkesmas, Yani harus mengurus dan mengikuti prosedur yang berbelit. Namun, setelah mengikuti BPJS Kesehatan ia merasa lebih dimudahkan karena dengan membayar iuran sudah bisa dilayani di rumah sakit.
Yani juga menyampaikan kekecewaannya setelah sebelumnya mendaftar sebagai peserta asuransi swasta. Sebab, ketika anaknya sakit, asuransi swasta dimaksud hanya menanggung biaya ruang rawat saja. Sedangkan biaya penanganan pengobatan hemofilia yang diderita anaknya tidak ditanggung oleh asuransi swasta dimaksud. Padahal, penyakit yang diderita anaknya bisa menyebabkan pendarahan kapan saja dan di mana saja. “Saya sangat terbantu sekali dengan adanya program ini. Memang jumlah penderita hemofili tidak banyak, tapi kami keluarga hemofili juga punya hak yang sama untuk tetap memperjuangkan hak untuk sehat,” tukas Yani.
Koordinasi Manfaat
Fachmi Idris selaku Dirut BPJS yang juga hadir pada persidangan kali ini menjawab pertanyaan yang dilontarkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Sebelumnya, Patrialis menanyakan soal kebenaran informasi mengenai adanya kerja sama BPJS dengan pihak asuransi besar. “Kenapa hanya dengan perusahan-perusahaan asuransi besar saja? Sementara para Pemohon ini di dalam permohonannya menyatakan juga selama ini sudah fokus untuk bisa membantu masyarakat dalam pelaksanaan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat,” tanya Patrialis.
Menjawab pertanyaan tersebut, Fachmi Idris membenarkan adanya koordinasi manfaat (coordination of benefit/ COB) antara BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan tambahan. Hal tersebut diatur lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. COB merupakan suatu proses penanggungan (payer) atau penanggung orang yang sama untuk manfaat asuransi kesehatan yang sama. Dengan COB maka terdapat pembatasan manfaat (benefit) dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan. Maksudnya, dengan adanya COB maka terdapat dua pihak yang membayar claim tagihan biaya pengobatan.
Dengan adanya COB, peserta BPJS Kesehatan yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan dengan membayar sendiri selisih biaya yang tidak ditanggung BPJS. “Badan penjamin lainnya (pihak asuransi swasta lainnya, red) selama sesuai ketentuan boleh bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” ujar Fachmi menjawab pertanyaan Patrialis. (Yusti Nurul Agustin)