Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melaksanakan lanjutan sidang perkara pengujian Undang-undang No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sidang Pleno yang dilaksanakan Rabu kemarin (8/3) jam 10.00 WIB di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat ini dipimpin langsung oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dengan Panitera Pengganti Fadzlun Budi, .S.N., S.H., M.Hum. Sidang ini beragenda mendengarkan keterangan ahli dari para pemohon.
Pemohon Drs. H. Muhamad Madel, M.M. yang juga merupakan Bupati Sarolangun, Jambi mengajukan perkara dengan kuasa pemohon di antaranya Sunardi Soemomoeljono, S.H. dan Dominggus Luitnan, S.H. Sementara dari pemerintah diwakili oleh Koko Nurdjaman (Sekretaris Jenderal Depdagri), Nata Iswara (staf ahli Mendagri), Perwira, S.H., M.H. (Ka. Biro Hukum Depdagri), dan Qomarudin, S.H., M.H. (Dir. Bag. Litigasi Dept. Hukum dan HAM). Ahli yang diajukan oleh Madel adalah pakar hukum pidana Dr. Rudy Satriyo, S.H., M.H.
Sidang terakhir sebelum pembacaan putusan ini menyoal tentang hak konstitusional Madel sebagai Bupati Sarolangun Jambi yang terlanggar. Madel merasa telah terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusionalnya secara signifikan. Menurut Madel, yang diwakili kuasa hukumnya, Sunardi Soemomoeljono, S.H., Wakil Bupati Sarolangun sudah mulai mendesak agar supaya Pemohon segera meninggalkan rumah dinas yang ditempatinya. Serta pemberitaan yang terkesan memojokkan diri Madel. Hal ini terjadi terkait dengan perkara pidana yang menimpa Madel.
Madel, menurut Pengadilan Negeri Sorolangun, berdasarkan dakwaan primer tidak terbukti melakukan tindak pidana, artinya perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dimaksud oleh dakwaan primer tidak terbukti. Sedangkan untuk dakwaan yang sifatnya subsider, Madel sementara ini dinyatakan bersalah. Dalam sidang pemeriksaan, Putusan Pengadilan Negeri Sorolangun Jambi juga tidak memutuskan untuk melakukan penahanan terhadap Pemohon.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka menurut Sunardi kuasa hukum Madel, terkait dengan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda yang secara tekstual mengatur tiga delik (delik terorisme, delik korupsi, dan delik maker), apabila seorang kepala daerah melakukan salah satu di antara tiga delik tersebut, jika sudah menjadi terdakwa, sudah sampai pada proses penuntutan, kepala daerah tersebut harus diberhentikan sementara. Melihat tiga delik ini, dilihat dari perspektif formil maupun materiil sangat berbeda, ungkapnya. Menurut Sunardi, sangat disayangkan mengapa dakwaan atas korupsi disamakan dengan dakwaan terorisme.
Menanggapi hal itu, Dr. Rudy Satriyo, S.H., M.H. mengatakan, jika berbicara mengenai asas dan soal aturan-aturan yang umum, dapat dikatakan hukum yang formil maupun hukum yang materiil dalam tindak pidana merupakan suatu hal yang sama. Tetapi menurutnya, tidak menutup kemungkinan masing-masing undang-undang tersebut (UU Pemda maupun UU Teroris), mengatur hal-hal yang berbeda. Hal ini terkait dengan asas lex spesialis derogat lex generalis. Artinya, ketentuan yang lebih khusus memungkinkan untuk kemudian menyimpangi dari aturan yang umum. Terkecuali terhadap beberapa prinsip yang mendasar berkaitan dengan persoalan, misalnya asas praduga tidak bersalah, pengakuan atas hak asasi manusia, maka berlaku hal yang sama. Jadi berbeda untuk beberapa ketentuan, tapi kemudian hal-hal yang prinsip memungkinkan untuk kemudian harus sama, kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia ini.
Terkait dengan keterangan tertulis pemerintah yang menyatakan bahwa salah satu sebab lahirnya Pasal 31 ayat (1) UU Pemda agar hakim leluasa mengadili orang (person) yang menjabat sebagai kepala daerah jika terlibat dalam perkara pidana. Hal ini dimaksudkan agar hakim dapat leluasa melakukan pemeriksaan, sehingga tidak ada kesan ewuh pakewuh. Menurut Rudy, pada dasarnya prinsip ewuh pakewuh tidak berlaku dalam pemeriksaan suatu perkara. Karena jika diberhentikan sementara, maka hal itu dapat diartikan sebagai suatu persoalan sanksi. Kalau kemudian jika berbicara tentang sanksi, maka kemudian harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahan terdakwa dan kemudian ada putusan yang tetap yang menyatakan yang bersangkutan bersalah. Kalau kemudian sanksi yang dinamakan dengan pemberhentian sementara tersebut, adanya pada awal proses, maka hal ini sudah melanggar prinsip yang dinamakan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), ujarnya.
Sidang pleno dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pemohon ini ditutup jam 11.15 WIB. Agenda sidang berikutnya sidang pleno pembacaan putusan. (Ardiansyah S.)