Lanosin selaku adik kandung Bupati Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan, Herman Deru mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Lanosin menggugat ketentuan Pasal 7 huruf r UU Pemilukada yang menyatakan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 37/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Kamis (2/4) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Lanosin mengajukan pengujian terhadap Pasal 7 huruf r UU Pemilukada beserta penjelasannya yang menyatakan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent). Pasal yang digugat Lanosin secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 7
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana
Dalam penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pemilukada yang baru disahkan oleh 18 Maret 2015 tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud tidak memiliki konflik kepentingan artinya tidak memiliki hubungan darah dengan petahana. Salah satu hubungan darah yang “diharamkan” hubungan kakak dan adik. Seperti diketahui, Lanosin merupakan adik kandung Herman Deru yang saat ini menjabat sebagai bupati OKU Timur. Ketentuan inilah yang menurut Lanosin mampu menjegal langkahnya untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan.
Selain itu, Lanosin menganggap ketentuan Pasal 7 huruf r UU Pemilukada bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara demokratis. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juga diajukan sebagai batu uji dalam uji materi yang diajukan Lanosin. Ia beranggarap sebagai salah sayu warga negara memiliki kedudukan hukum yang sama dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecuali. Bila ketentua a quo dibiarkan, Lanosin beranggapan kebebasan dari perlakuan diskriminatif yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar.
Definisi Konflik Kepentingan
Andi Syafrani selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman menyampaikan argumentasi dalam permohonan pengujian UU No. 8 Tahun 2015 tersebut. Syafrani mengatakan konflik kepentingan seharusnya didefinisikan sesuai Pasal 1 butir 14 UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan subjek dalam konflik kepentingan adalah pejabat pemerintah.
Definisi dalam Pasal 1 butir 14 UU Administrasi Pemerintahan menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Syafrani, relevan dengan seluruh norma konflik kepentingan dalam peraturan lainnya. Ia pun menambahkan bahwa norma mengenai konflik kepentingan selaku mengatur tentang aparatur pemerintahan, pejabat pemerintah, legislator, maupun yang terkait dengan jabatan publik. Sehingga, Pemohon menganggap penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pemilukada tidak sejalan dengan definisi konflik kepentingan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
“Pasal ini (Pasal 7 huruf r UU Pemilukada, red) subjeknya adalah mengatur tentang calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah. Menurut kami ini adalah ketentuan yang tidak sesuai subjeknya karena tidak semua calon adalah pejabat publik,” tegas Syafrani mengungkapkan salah satu argumentasi permohonan Lanosin.
Hubungan Darah
Pembatasan pencalonan berdasarkan adanya faktor kelahiran/darah/perkawinan dengan tegas ditentang oleh Pemohon. Sebab, pembatasan tersebut telah melanggar prinsip adanya civil liberties yang dilindungi oleh Hukum Internasional dan ditegaskan oleh UUD 1945. Pelarangan pencalonan bagi orang yang memiliki hubungan darah seperti yang dialami Lanosin dianggap sebagai tindakan yang tidak adil sekaligus melanggar prinsip fairness karena membelenggu HAM yang muncul secara alamiah.
Pelarangan tersebut juga dianggap menyalahi International Covenant on Civil and Political Rights Tahun 1966. Di dalam konvensi internasional tersebut secara tegas dinyatakan bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terkait dengan asal-usul sosial (social origin) dan kelahiran. “Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan asal usul orang tua. Sedangkan untuk sosial status didefinsikan sebagai status sosial yang dimiliki oleh seseorang yang diwarisinya,” ungkap Syafrani mengutip konvensi yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia tersebut. (Yusti Nurul Agustin)