Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menilai tiga perusahaan kontraktor alat berat sebagai Pemohon tidak tepat dalam membedakan alat berat sebagai alat produksi dengan kendaraan bermotor. Hal ini diungkapkan oleh Agung Makbul selaku wakil Polri dalamsidang pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2/4) di Ruang Sidang MK. Perkara dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan.
“Sebagai moda atau alat pengangkutan karena semua jenis kendaraan bermotor termasuk alat berat dapat difungsikan sebagai alat produksi atau pendukung kegiatan produksi. Jenis mobil penumpang atau mobil bus, mobil barang seperti halnya alat berat dapat berfungsi sebagai alat produksi yaitu produksi jasa pengangkutan orang atau barang yang memberikan pendapatan kepada perusahaan yang memiliki dan/atau mengoperasikan,” papar Agung dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Agung juga menjelaskan bahwa alat berat sebagai kendaraan bermotor khusus yang akan dioperasikan atau digunakan wilayah Indonesia wajib dilakukan uji tipe dan uji berkala agar mampu memberikan jaminan keselamatan kepada pengemudi, dan penumpang, dan orang lain di luar alat berat. Pengujian tipe dan berkala, lanjutnya, merupakan bentuk tanggung jawab negara agar setiap alat berat yang dioperasikan, digunakan di Indonesia memenuhi syarat teknis dan laik jalan.
“Negara tidak boleh membiarkan terjadinya ancaman terhadap keselamatan warga negaranya yang mengemudikan atau menumpang alat berat karena memberikan alat berat tidak dilakukan uji tipe dan uji berkala. Mengenai kompleksititas pelaksanaan dan tata cara pengujian, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melaksanakannya dan dapat diatur secara khusus,” terangnya.
Persyaratan Bagi Alat Berat
Sementara, Mantan Ketua MA Bagir Manan selaku ahli pemohon menjelaskan permasalahan terletak pada persyaratan kendaraan disesuaikan dengan penjelasan Pasal 47 huruf c. Dalam penjelasan tersebut menyatakan harus memenuhi semua persyaratan kendaraan dan kewajiban hukum yang harus dipenuhi sebagai kendaraan.
Salah satu kriteria kendaraan yang dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009, jelas Bagir, adalah kelayakan jalan dalam lalu lintas umum dan wajib uji, begitu pula syarat-syarat yang harus dipenuhi operator. Kewajiban kelayakan jalan dalam lalu lintas umum dan wajib uji harus dilihat dari kehendak yang ingin dicapai pembentuk undang-undang. Hal ini berkaitan dengan public purpose atau social purpose, yaitu keamanan dan kenyamanan.
“Bila kendaraan-kendaraan khusus yang disebut dalam penjelasan huruf c tidak bertalian langsung dengan keselamatan umum public safety apakah relevan memasukkan jenis kendaraan tersebut dalam penjelasan dengan konsekuensi memenuhi semua syarat-syarat dan kewajiban seperti kendaraan, seperti mobil, atau sepeda motor pada umumnya,” sambungnya.
Ketidakjelasan Definisi Alat Berat
Dalam kesempatan itu, Pemohon juga menghadirkan saksi, Wakil Ketua Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) Bambang Tjahjono. Bambang menjelaskan sejak adanya ketentuan mengenai pengelompokkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, telah muncul keluhan dari berbagai perusahaan anggota Aspindo yang disampaikan dalam berbagai acara yang diadakan oleh Aspindo. Hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan mengenai pengertian alat berat.
“Ketidakjelasan ini berdampak kepada perlu tidaknya alat berat mengikuti persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan. Selama ini kami bingung, bahkan cemas apakah alat berat yang kami operasikan sudah legal atau tidak,” sambungnya.
Selain itu, Bambang mengungkapkan ketidakjelasan aturan tersebut membuat kontraktor sulit mendapatkan operator. Dalam merekrut calon operator, terangnya, banyak perusahaan tambang masih mensyaratkan SIM B2 sebagai syarat administratif sebelum operator tersebut berhak mendapatkan kartu izin mengemudi di lingkungan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemilik tambang.
“Padahal kompetensi untuk mengemudikan alat berat berbeda sama sekali dengan mengemudikan truk besar atau gandengan di jalan raya, belum lagi persyaratan umur 21 tahun untuk SIM B1 sangat merugikan calon operator yang lulus SLTA yang barusia 18-20 tahun. Mereka harus membuat SIM A lebih dulu, kemudian menunggu minimal 12 bulan untuk membuat B1, kemudian menunggu 12 bulan lagi sebelum bisa membuat SIM B2. Hal ini merugikan kami karena sulit mendapatkan calon operator walaupun untuk itu kami bersedia melakukan pelatihan terlebih dahulu,” sambungnya.
Dalam sidang sebelumnya, para pemohon yang diwakili oleh Ali Nurdin selaku kuasa hokum, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ berbunyi: “Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane”. UU LLAJ menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. (Lulu Anjarsari)